Oleh

Haliadi-Sadi, Ph.D

(Dosen Sejarah dan Kepala Pusat Penelitian Sejarah LPPM UNTAD)

  1. Pengantar

Apakah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah merupakan kerajaan maritim? Dan bagaimana pola pemikiran masyarakat bahari di Sulawesi Tengah? Menjawab pertanyaan ini, maka tulisan awal ini akan menguraikan beberapa hal, antara lain: Pertama, Kontur Laut Sulawesi Tengah Sebuah Gambaran Umum dan Kerajaan Maritim di Sulawesi Sulawesi Tengah; Kedua, Masyarakat Campuran Bahari di Pinggir Laut Sulawesi Tengah; dan Ketiga, Budaya Bahari Bajo di Sulawesi Tengah.

  1. Kontur Laut Sulawesi Tengah Sebuah Gambaran Umum

Budaya maritim Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah dipengaruhi oleh dinamika Laut Sulawesi, Laut Banda, Selat Makassar, Laut Maluku, Teluk Tomini, Teluk Tolo, dan Teluk Palu. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Tengah kecuali Napu dan Kulawi dapat disebut sebagai kerajaan maritim yang mendukung aktifitas pelayaran dan perdagangan nusantara. Salah satu sumber penting yang dilansir oleh Velthoen mengenai Bungku menyatakan bahwa:

The prosperity of Tambuku was based on a patchwork of alliances between individual Tambuku chiefs and raiding headmen such as Arung Bakung that linked Tambuku to raiding headmen in South Sulawesi, Toli-toli and Tambuku. The expeditionof 1842 and the forced move to Lanona ended Tambuku’s role as traiding centre in eastern Sulawesi and as the forwarding base for large raiding expedition. The role of staple-market in eastern Sulawesi was taken over by a number of smaller settlements, of which Kendari was the most important. A number of these, including Kendari, were controlled by syahbandar who collected harbor tax and who were supposedly appointed by Bone.”[2]Artinya:
Kemakmuran Tambuku didasarkan pada hubungan aliansi antara Kepala Tambuku sebagai individu dan kepala desa merampok seperti Arung Bakung yang menghubungkan kepala desa Tambuku untuk merampok di Sulawesi Selatan, Toli-toli dan Tambuku. Para ekspedisi tahun 1842 dan bergerak dipaksa untuk peran Lanona ibukota Tambuku sebagai pusat perdagangan di bagian Timur Sulawesi dan sebagai dasar untuk ekspedisi para perampok besar. Peran pokok-pasar di Timur Sulawesi diambil alih oleh sejumlah permukiman kecil, yakni Kendari yang paling penting. Sejauh ini, Kendari dikendalikan oleh Syahbandar yang mengumpulkan pajak pelabuhan yang seharusnya ditunjuk oleh Kerajaan Bone.

Demikian juga cerita Saverigading di Kaili dan Poso merupakan bukti hubungan maritim antara Kerajaan Bugis-Makassar seperti Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone, dan Kerajaan Luwu. Kisah Saverigading membuktikan bahwa ada sikap terbuka antara Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi bahagian Selatan termasuk Kerajaan-kerajaan di Tanah Mandar. Kontur Laut Kerajaan Maritim di Sulawesi Tengah dipengaruhi oleh Selat Makassar dan Teluk Palu sehingga mempengaruhi budaya maritim di kerajaan-kerajaan lokal Sulawesi Tengah. Sementara kontur pesisir di bagian Utara seperti Kerajaan Tolitoli dan Buol langsung dipengaruhi oleh laut Sulawesi sehingga membentuk budaya maritim laut Sulawesi. Sementara itu, kontur laut bagian Timur dipengaruhi oleh Laut Banda dan Laut Maluk serta Teluk Tolo yang berpengaruh langsung kepada Kerajaan Bungku, Mori dan Banggai. Teluk Tomini langsung berpengaruh kepada budaya Maritim Kerajaan Togean, Tojo Una-una, Poso, Parigi, dan Moutong. Dengan demikian, ada empat pengaruh jaringan laut di Sulawesi Tengah, yakni, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda plus Selat Maluku, dan Teluk Tomini.

Hampir semua kerajaan di Sulawesi Tengah memiliki hubungan topografi dengan laut dalam arti Selat, Teluk, Tanjung, Muara Sungai, maupun Pelabuhan Laut, kecuali Kerajaan Kulawi, Kerajaan Pamona, dan Kerajaan Napu. Kerajaan maritim Sulawesi Tengah memiliki cerita dan kisah masing-masing mengenai pengalamannya dengan laut. Dua kerajaan di bagian Utara Sulawesi Tengah yakni Kerajaan Tolitoli dan Kerajaan Buol berkaitan erat dengan Laut Sulawesi, turun ke bawahnya terdapat satu kerajaan yang bernama Sojol yang memiliki raja pertama dari Sulu Selatan. Beberapa Kerajaan yang ada di Teluk Palu seperti Kerajaan Tavaeli, Kerajaan Palu, Kerajaan Sigi, Kerajaan Dolo, Kerajaan Tatanga, dan Kerajaan Banawa merupakan kerajaan yang berhubungan langsung dengan Teluk Palu dan Selat Sulawesi di perantaraan Pulau Sulawesi dengan Pulau Kalimantan. Sementara itu, Kerajaan di Pantai bagian Timur Pulau Sulawesi seperti Kerajaan Bungku, Kerajaan Mori, dan Kerajaan Banggai langsung berhubungan dengan Laut Banda, Teluk Tolo, dan Laut Maluku. Sementara itu, kerajaan-kerajaan Sulawesi Tengah seperti Kerajaan Tojo Una-Una, Kerajaan Togean, Kerajaan Poso, Kerajaan Sausu, Kerajaan Parigi, Kerajaan Kasimbar, dan Kerajaan Moutong langsung menghiasi dinamika Teluk Tomini dari masa ke masa.

III. Masyarakat Campuran Bahari di Pinggir Laut Sulawesi Tengah

Masyarakat Maritim merupakan masyarakat dinamis yang terbuka dan bebas dari sekat-sekat budaya dan batas-batas administrasi. Terbentuknya masyarakat baru Maritim di Sulawesi Tengah terbangun atas serbuan laut ke Wilayah Sulawesi Tengah bagian pinggir laut. Ada empat wilayah masyarakat bahari yang telah tercampur dengan masyarakat lokal, yakni campuran masyarakat bahari selat Makassar, campuran masyarakat bahari Laut Sulawesi, Campuran masyarakat bahari Laut Banda dan Selat Maluku, serta campuran masyarakat Bahari Teluk Tomini.

Campuran masyarakat bahari Selat Makassar terjadi di Kerajaan Dolo dan Kerajaan Tavaeli, Kerajaan Banawa yakni pertemuan kulturan antara orang Mandar dengan Orang Kaili hingga ke Pantai Barat Sulawesi Tengah. Menurut silsillah Kerajaan Sigi Dolo Yaruntasi ini yang menurunkan keturunannya hingga Raja Datu Pamusu di Dolo sebagai seorang raja yang selalu membangkang kepada Kolonial Belanda di Lembah Palu. Datu Pamusu menurunkan anaknya yang bernama Rajagunu Datu Pamusu yang turun kepada Abdul Bari Datu Pamusu. Abdul Bari Datu Pamusu merupakan Ketua Dewan Adat Kota Patanggota Dolo. Beliau adalah seorang yang sederhana namun masih diakui oleh masyarakat sebagai pemangku Kerajaan Sigi Dolo di Sulawesi Tengah yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakat berdasarkan adat istiadat Kaili di Sulawesi Tengah.[3]

Salah seorang keluarga “Tambarodea” (budaya sagu) yang terkenal di Kerajaan Dolo adalah Datu Pamusu.  Datu Pamusu adalah seorang yang aktif di Syarekat Islam maupun PSII yang melawan Belanda di Sulawesi Tengah. Datupamusu lahir tahun 1864 di Pesaku, sebuah kampung dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Dolo. Ia merupakan putra tunggal Yolulemba, Magau Dolo.[4] Datu Pamusu diangkat sebagai Magau Dolo menggantikan pamannya Gantoelemba atau Tomai Kadundu yang tewas pada 15 November 1905 dalam sebuah serangan pasukan kolonial ke Kerajaan Dolo. Ketika Datupamusu diangkat sebagai Magau Dolo, Kerajaan Dolo telah mengikat kontrak[5] dengan pemerintah Hindia Belanda. Kerajaan Dolo telah beberapa kali menandatangani kontrak politik terhadap pemerintah kolonial.[6] Pada tahun 1888, ketika usia Datu Pamusu belum genap 15 tahun. Ia telah diikutkan oleh ayahnya (Yolulemba) dalam perang antara rakyat Kayumalue beserta sekutunya melawan pasukan kolonial. Kerajaan Dolo ikut membantu pasukan Kayumalue karena adanya ikatan kekeluargaan antara penguasa Kayumalue dengan Penguasa Dolo. Sementara itu,  Mandar di Kerajaan Tavaeli dapat dilihat dari kisah tentang Rajalangi yang biasa disebut Madika Mandar mengawini anak kelima dari Datumpedagi yang bernama Tjara Datumpedagi yang biasa dipanggil dengan nama Pue Puaji. Perkawinan ini melahirkan anaknya yang bernama Yodo Rajalangi atau Mangge Sule yang menikah dengan perempuan Tavaeli yang bernama Dg. Masangi. Yodo Rajalangi adalah seorang pembaharu yang memperkenalkan aksara latin pertama kali di Tavaeli. Yodo Rajalangi juga menjadi seorang imam di Masjid Tavaeli yang memiliki kekeramatan dan sakti.[7] Beliau menjadi penasihat Raja Tavaeli ke-VII yang bernama Magau Mangge Bodu atau Magau Punggu yang berkuasa antara tahun 1800 hingga tahun 1900.[8]  Pada masa ini Magau Punggu ditunjuk oleh adat untuk menjadi Magai Tavaeli pada umur 12 tahun sehingga tugas-tugas kerajaan dipegang oleh pamannya yang bernama Datumpedagi atau yang biasa dikenal dengan nama Pue Oge Nganga sebagai Wali Magau (Pelaksana Harian di Kemagauan Tavaeli).[9]

Sementara itu, campuran masyarakat bahari Laut Sulawesi di Tolitoli dan Buol serta Sojol yakni masyarakat Mindanao dengan masyarakat Sojol sementara di Tolitoli terdapat percampuran Bugis Barru dengan masyarakat Tolitoli yang disebut Bugis Tolitoli. Raja pertama Kerajaan Sojol menurut silsillah[10] Kerajaan Sojol bernama Noeroel Hidayah. Noeroel Hidayah menurut keterangan di Bou dinyatakan berasal dari sebuah kerajaan yang ada di Filipina Selatan. Raja ini menikah dengan Siti Nooeroesia sebagai permaisurinya. Putra dari Raja Sojol Pertama ini bernama Mogojili Moeroe seorang laki-laki. Anak raja ini menikah dengan seorang perempuan Sojol yang tidak dicantumkan namanya dalam silsillah tersebut, namun memiliki anak yang bernama Yeleloeni Daemindalan. Ketika Noeroel Hidayah mangkat, yang menjadi raja bukan putranya yang bernama Mogojili Moeroe tetapi mengangkat suami cucunya yang bernama Daempabila seorang Raja Tjendana dari Mandar di Sulawesi Bahagian Barat. Pada silsillah Sojol dicantumkan bahwaDaempabila menikah dengan Yeleloeni Daemindalan cucu dari Raja pertama Noeroel Hidayah. Suami cucu Raja Noeroel Hidayah yang bernama Daempabila diangkat menjadi Raja Kedua Kerajaan Sojol. Putri Mogojili Moeroe ini diceritakan sebagai seorang perempuan yang cantik jelita. Pada saat itu, mulai lagi Orang Mandar dari Kerajaan Tjendana menjadi Raja di Kerajaan Sojol.[11] Hasil perkawinan dari Daempabila dengan Yeleloeni Daemindalan melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Bokintinole. Bokintinole dinikahi oleh seorang laki-laki yang bernama Daempalalo yang juga tidak diketahui namanya, tetapi dari namanya dapat dikatakan bahwa menggunakan dae sebuah cirikhas nama mandar di masa itu. Hasil perkawinan antara Daempalalo dengan Bokintinole melahirkan dua orang anak, yakni: Pertama, Sitimamina seorang perempuan. Kedua,  Jeleloemoet juga seorang perempuan. Sitimamina menikah dengan Ensabarajang seorang Raja Dampal di Tolitoli Selatan, sementara itu Jeleloemoet dinikahi oleh Sajamondoelan yang melahirkan Jelejinangka dan Boelamemboe Elefoelaane yang meletakkan dasar penguasa di Tinombo Pantai Timur di Teluk Tomini.

Pada bagian timur terdapat juga campuran masyarakat bahari Laut Banda dan Selat Maluku seperti Bajo Salabangka di Kerajaan Bungku, juga masyarakat Banggai dan Bungku dengan masyarakat Ternate. Kerajaan Tombuku yang terletak di pantai Timur Sulawesi dan berada di bawah kekuasaan Sultan Ternate, merupakan sebuah daerah sempit memanjang yang di sebelah Timur di batasi dengan laut, di sebelah Utara dengan wilayah Banggai, sebelah Barat dan Selatan dengan kerajaan Luwu dan Laiwui.[12] Batas utara ditetapkan dimulai dari pulau Tegonteya dan batas Selatan kerajaan ini membentang sampai negeri Lembo Belala. Teluk Tomori yang di peta tertulis Teluk Tolo, menjorok ke Darat di Pantai Timur, dan Daerah Tello menjorok paling dalam di kedalaman teluk antara di daerah Tombuku sehingga Kerajaan Tombuku terpisah melalui teluk daerah Tomori menjadi dua, menjadi Tombuku Utara dan Selatan. Kerajaan Tombuku selain itu dibagi menjadi empat distrik yakni: a)  Tombuku asli yang daerah pantainya dari Tomori di daerah sempit mengecil membentang sampai ke Negeri Faja atau Tanjung Faja, yang disebut Tapu Uluno oleh orang pribumi; 
b)  Daerah Bahu Solo yang dimulai di Tapu Uluno di selatan berakhir dengan Negeri Bilala dan di Barat dibatasi dengan Daerah Tu Eppe yang di sebelah Utara dibatasi dengan Distrik Tombuku dan daerah Tomori serta di Barat dan Selatan ditutup dengan Kerajaan Luwu.[13] Grenzen, “Het Lanchap Boengkoe,” Tijdschrift, voor Indische Taal Land en 
Volkenkunde, uit gegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchapen, 1908, hlm. 489. c) Daerah Toe Eppe yang di Utara dibatasi oleh Distrik Tombuku dan Daerah Tomori, sementara di Barat dan Selatan ditutup oleh daerah Kerajaan Luwu. d) Distrik Tofi yang di Selatan dan di Timur dibatasi dengan Tomori, dan di Utara bergabung dengan wilayah Bungku Utara. Orang-orang Tomori menguasai daerah ini sehingga masih termasuk Tombuku hanya di atas kertas. Tombuku utara yang dinyatakan sebagai distrik kelima, hampir seluruhnya tidak berpenghuni; mungkin di sana-sini dihuni oleh beberapa suku Alfur yang tidak mengakui kekuasaan itu. Para kepala Tombuku juga tidak mengetahui kondisi daerah kerajaan ini dan tidak memiliki hubungan dengannya. Perjanjian Bungaya ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 sehingga semua kekuasaan Gowa di Indonesia Timur tunduk kepada VOC. VOC berhasil menguasai Ternate dan Gowa sehingga menempatkan Gubernurnya di Ternate. Pada tahun 1683, Ternate diberi kekuasaan oleh kompeni sebagai daerah pinjaman untuk tetap menguasai kembali daerah-daerah kekuasaannya, termasuk Banggai. Pada akhir tahun 1688, Ternate mengirim utusannya ke Pulau Banggai sehingga pada tanggal 26 Januari 1689, untuk pertama kalinya VOC mengajukan kontrak kepada Banggai termasuk juga diatur hubungan Ternate dengan Banggai.

Akhirnya masyarakat campuran bahari Teluk Tomini antara masyarakat Mandar dengan masyarakat Lauje di Kerajaan Moutong termasuk juga orang Bugis dengan orang Baree maupun orang Togean di Kerajaan Tojo Una-una dan Kerajaan Togean. Seorang tokoh pendatang dari tanah Mandar yang dikenal dengan gelar Arajang Taunae[14] memiliki peran penting dalam mengamankan wilayah Teluk Tomini dari gangguan bajak laut disekitar Teluk Tomini. Karena perannya itu, maka Arajang Taunae dan seluruh pengikutnya mendapat kedudukan yang istimewa dalam bentuk pemberian kekuasaan kepada Arajang Taunae untuk mengatur seluruh kegiatan perdagangan dan sekaligus menerima hasilnya disekitar wilayah Tomini. Peranan yang demikian besar itu, memungkinkan pula terjadinya pembauran antara masyarakat setempat dengan para pengikut Arajang Taunae. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, telah terjalin hubungan perkawinan antara kedua belah pihak. Arajang Taunae; yang oleh masyarakat Mandar dikenal dengan nama Tomessu, dan para pengikutnya telah memilih untuk menetap di daerah itu. Sejak saat itu, perantau Mandar banyak berdatangan ke daerah Tomini. Akhirnya, mayoritas penduduk yang mendiami wilayah dari Sungai Molosipat/ Tanjung Matoro sampai ke Timbaraigi/ Labuan Sori merasa dirinya sebagai orang Mandar atau keturunan Mandar. Orang-orang tersebut menyebut dirinya sebagai Tomene, yang dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi Tomini (nama wilayah tersebut). Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Arajang Taunae termakan usia, maka jabatan sebagai penguasa secara de facto wilayah Tomini, selanjutnya diserahkan kepada anaknya yang bernama Pataikaci, melalui persetujuan penguasa-penguasa setempat (dalam istilah lokal disebut Olongian).[15] Pataikaci inilah yang menjadi peletak dasar berdirinya Kerajaan Moutong dan merupakan raja pertama kerajaan tersebut.

  1. Budaya Bahari Masyarakat Pinggir Laut di Sulawesi Tengah

Fenomena menarik di Sulawesi Tengah adalah adanya Wakil Bupati yang berasa dari Suku Bajo di Kabupaten Banggai Kepulauan yang bernama Zakaria Kamindang dari Bajo Tinakin Laut dan sekarang ini wakil Bupati Kabupaten Banggai Kepulauan Rais Adam dari Bajo Kalumbatang. Persebaran orang Bajo di Sulawesi Tengah tersebar di hampir semua pelosok wilayah Sulawesi Tengah. Jadi, transformasi Bajo di Sulawesi Tengah dapat dikatakan sangat tinggi, sehingga mereka tidak lagi hanya sekadar melaut tetapi kedudukan mereka di masyarakat Sulawesi Tengah sudah dapat diperhitungkan secara politik. Salah satu naskah Bajo yang kami temukan di Salabangka menyatakan bahwa:

“rombongan suku Bajo di bawah pimpinan Lolo Hamme meninggalkan Bajoe, rombongan tersebut tiba di Bungin Kallo lalu menyebar sampai ke Tomia Binongko, Muna, melalai selat Tobea, Buton, Selat Wawonii, Labengki kemudian sampai dengan ke – Kepulauan Salabangka. Akan tetapi rombongan ini tidak berdiam lama di sana kecuali sebagian kecil dan selebihnya terus melanjutkan perjalanan ke – Kepulauan Banggai, Taliabo sampai ke Pulau Ternate hingga ke pulau Tambuku Kecil. Namun setelah meninjau daerah – daerah yang pernah dilalui ini ternyata tidak cocok dijadikan tempat pencaharian, maka rombongan kembali ke Kepulauan Salabangka. 40% dari rombongan tersebut tinggal dan menetap di Kepulauan Banggai, Pagimana, Togiang dan Ampana serta sebahagian menyebar ke daerah Parigi Moutong. sedangkan Lolo Bajo beserta rombongan yang lain langsung menuju Kepulauan Salabangka dan bermukim di sana. Di sanalah Lolo Bajo memulai hidup baru setelah meninggalkan Bone sekitar tahun 1305 Hijriah dan memulai menyusun pemerintahan yang teratur sesuai keadaan waktu itu kurang lebih 130 tahun yang lampau. Setelah mereka berhasil mengusir pengacau Mindanau dan Tobelo, kemudianLolo Bajo Hamme menghadap raja Bungku dalam rangka mengajukan permohonan agar dapat diberi izin untuk tinggal di Kepulauan Salabangka dan menui kepulauan yang pada saat itu dibawah kekuasaan raja Bungku. Oleh raja Bungku memberi izin kepada mereka orang-orang Bajo ini, dengan catatan mereka harus tunduk kepada aturan Kerajaan Bungku dan Ternate sebab pada saat itu Bungku berada di bawah taktis ke-Sultanan Ternate. Karena Salabangka adalah daerah kekuasaan Bungku maka disamping pemberian areal lokasi pemukiman oleh raja Bungku kepada orang Bajo, juga diberi hak otonomi untuk mengatur pemerintahan sendiri sehingga hubungan antara Kerajaan Bungku dan Suku Bajo di Kepulauan Salabangka dan Menui Kepulauan hanya merupakan hubungan Administrasi.

Adapun secara politis/tehnis dan moral orang-orang bajo tetap orang Bone yang berada di taktis kerajaan Bone meskipun mereka tinggal menetap di wilayah Kerajaan Bungku. Sebab orang-orang Bajo ini diwajibkan membayar upeti ke Bone setiap tahunnnya yang diantar oleh Lolo Bajo kepada raja Bone di akhir tahun, manakala upeti tersebut diantar ke-Kerajaan bone itu di kawal oleh tiga buah armada laut yang dilengkapi dengan panji- panji suku Bajo dengan kode etik sebagai berikut:
Perahu yang ditumpangi oleh Lolo Bajo warna kuning, panji tersebut dikibarkan setelah mendekati pelabuhan Bone seraya diiringi gendang yang dalam adat Bajo disebut gandah sarama dema, iringan gendang dan seruling yang dibunyikan disebut Soroh Dayoh-Soroh Busae.demikian pula halnya tatkala kembali meninggalkan pelabuhan Bajoe panjipun kembali dikibarkan, gendang dan seruling dibunyikan dalam irama ra’ra/gandah ra’ra yang oleh suku Bajo lebih popular dengan sebutan gandah tula’ sambuah yang bermakna ucapan selamat tinggal.[16]

Peradaban ini yang terbangun sepanjang sejarah di Wilayah Bungku, mereka masih melakukan interaksi antara orang-orang Bajo di Wilayah Sulawesi Tengah bagian Timur maupun dengan orang Bajo di Bajoe Bone. Demikian juga dengan peradaban maritim yang terbangun di Banggai, interaksi antara orang-orang Banggai dengan orang Bajo maupun orang Mandar berjalan secara dinamik dalam budaya penangkapan ikan maupun perdagangan ikan. Sumber di bawah ini menujukkan bahwa interaksi perdagangan antara orang Mandar dengan Bajo juga dengan Orang Banggai berjalan lancar di paruh tengah abad ke-19, sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

“Produksi ikan dan teripang di pulau Banggai menjadi tangkapan utama bagi orang Badjo dan orang Mandar. Orang Badjo biasanya menangkap ikan dan teripang sebanyak 100 sampai 200 sampangs kecil, sedangkan orang  Mandar menggunakan kapal paduwakang.

Beberapa tahun terakhir, jumlah orang dari Badjo dan Mandar meningkat, hal ini mungkin disebabkan oleh penghasilan  jumlah besar (1/3 dari hasil tangkapan mereka) bahwa produksi harus dipertahankan. Jumlah orang Mandar dengan menggunakan kapal paduwakang setiap tahunnya mencapai 27 kapal, sedangkan Badjo berjumlah 168 sampang.

Mereka memperkirakan menangkap setiap tahunnya mencapai pm 800 ȃ  900 pikul. Produksi penangkapan teripang sekitar 1.600 â 1.800 kapala. Berat masing-masing kapal sebagai ukuran sekitar 1 sampai 13/katti.

Badjo membayar pajak hak istimewa untuk dapat menangkap ikan pada terumbu karang sebanyak ¼ hasil penangkapan di Banggai. Mandar membayar 5 kain Mandar, sini 3½ ȃ 4 real atau f. 7 â f. 8 gulden, selain Mandar dibebankan biaya sebesar f. 3 gulden.”[17]  

Berdasarkan dua naskah ini menunjukkan bahwa budaya bahari masyarakat Bajo di Sulawesi Tengah adalah budaya yang datang dari luar untuk kemudian menyatu secara dinamik membentuk peradaban dan kebudayaan maritim masyarakat Sulawesi Tengah. Sistem Perahu tradisional, modern dan pasca modern masyarakat bajo di Sulawesi Tengah menjadi bukti otentik adanya budaya dan peradaban maritim Sulawesi Tengah yang disesuaikan dengan kontur laut di persekitaran wilayah Sulawesi Tengah, yakni Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, Selat Maluku, dan Teluk Tolo, serta Teluk Tomini.

Pemikiran orang Bajo yang melihat alam sebagai subjek adalah bajo tradisional. Orang Bajo yang masih dipengaruhi oleh pola pikir tradisional dapat dilihat pada sejak adanya dua pemukiman Bajo terbentuk. Bajo Bongganan di Salakan Kabupaten Banggai Kepulauan terbentuk sejak tahun 1896, sedangkan Bajo Jayabakti berdiri sejak tahun 1918. Pola pikir tradisional terjadi hingga masa pemerintahan tradisional dari Mbo Kokok hingga Mbo Ndalame yang masih menggunakan punggawa sebagai sebutan kepala masyarakat Bajo di Jayabakti yang berlangsung hingga tahun 1965. Sedangkan bagi masyarakat Bajo di Bongganan Salakan berlaku hingga masa kekuasaan Punggawa Rapi atau Haji Sawani hingga Cale Kadehe (1942-1959). Mengikuti pola tradisional yang ditampilkan oleh Kuntowijoyo [18] bahwa kebudayaan masyarakat pada masa ini penuh dengan mitologisasi (mitologisasi), sakralisasi (mengeramatkan), dan mistifikasi (memandang segala sesuatu sebagai misteri). Pada masa ini, masayarakat Bajo masih tunduk sepenuhnya pada alam termasuk laut dan darat. Mereka melihat alam sebagai sesuatu yang dahsyat, tak terjangkau, dan menguasai manusia.

Perlakuan seperti yang diuraikan tersebut sebelumnya akan memberikan garapan dan gagasan yang lebih expresif mengenai perkembangan orang Bajo yang masih berpikiran tradisional dengan pemikiran bahwa alam sekitarnya termasuk laut dan darat sekalipun sebagai subjek seperti pada paruh awal 45 tahun pertama yang masih menggantungkan hidupnya pada alam (ekonomi susbsisten tentang laut). Salah satu penelitian yang mengagumkan adalah hasil penelitian Hedy Shri Ahimsa-Putra yang dinyatakan bahwa:

“Ceritera orang Bajo yang berjudul Pitoto’ si Muhamma’ … merupakan sebuah upaya simbolisasi yang dilakukan oleh orang Bajo untuk memahami kontradiksi-kontradiksi empiris yang mereka hadapi sebagai orang yang hidup dari mumpulkan hasil laut. Kontradiksi-kontradiksi abadi yang mereka hadapi adalah kenyataan bahwa mereka hidup di laut, namun juga masih tergantung pada hasil bumi dari darat; bahwa mereka membutuhkan bantuan bukan hanya dari kerabat, tetapi juga dari mereka yang bukan kerabat”.[19]

Argumentasi dari Ahimsa tersebut, mengindikasikan bahwa masyarakat Bajo dimanapun dia berada pada masa ini masih dipengaruhi oleh kontradiksi-kontradiksi yang mereka buat sendiri dan tidak dapat dipecahkan sendiri pula, sehingga pemikiran itulah yang mengisolasi permukiman masyarakat Bajo dari kehidupan dunia darat. Salah satu teknologi maritim yang digunakan oleh masyarakat Bajo pada masa ini masih sederhana juga berupa lepa-lepa yang biasanya disebut nelayan lepa-lepa yang juga disebut nelayan sampan. Perahu ini biasanya memiliki panjang sekitar 5-7 meter, lebar 1 meter, dan tinggi 50 cm tanpa menggunakan penyeimbang yang masih digerakkan oleh layar. Kelengkapan nelayan sema-sema biasanya juga masih sederhana berupa tombak dan pancing dan waktu melaut hanya sekitar satu hingga lima jam untuk keperluan menyambung hidup sehari-hari.

Pemikiran orang Bajo bahwa alam sebagai objek adalah orang Bajo modern karena telah memperhitungkan penaklukan alam. Orang Bajo yang telah memiliki pola pemikiran modern terjadi sejak kekuasaan Amin Budi (1960-1975) di Bongganan Salakan dan Ndali Minggu sebagai Kepala Desa pertama di Jayabakti sejak tahun 1965 hingga mengenal pendidikan pada tahun 1974. Orang Bajo Bongganan Salakan antara tahun 1960 hingga tahun 1975 mulai kelihatan banyak yang memasuki dunia pendidikan yakni tamat pendidikan SD atau SR sudah sebanyak 40 hingga 51 orang, tamat pendidikan SMP dari 3 orang hingga 25 orang, tamat pendidikan SMA dari 4 hingga 6 orang, sedangkan diploma hingga tahun 1956 sudah berjumlah 4 orang dan sarjana belum ada. Sedangkan, sejak tahun 1965 hingga tahun 1975 sudah dijadikan sebagai desa Jayabakti oleh Bupati R Atje Slamet karena semangat gotong royong masyarakat yang membantu program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Pada masa ini pola pemikiran orang Bajo melihat alam sebagai objek pemahaman dan objek penguasaan. Penyebab pemikiran ini diakibatkan oleh tiga hal pokok, yakni ilmu- ilmu modern, gerakan pembaharuan agama, dan mobilitas sosial-budaya. Hal itu berakibat pada munculnya demitologisasi, desakralisasi, dan demistifikasi. Alam dilihat sebagai sesuatu yang bermanfaat pada mereka termasuk darat dan laut. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan teknologi perahu Bajo yang disebut Jarangkah atau perahu bersayap dengan menggunakan mesin katinting (bentuk teknologi mesin sederhana dari mesin penggiling padi dimodifikasi menjadi mesin yang dapat menggerakkan perahu). Nelayan Jarangkah biasa juga disebut nelayan katinting yang menggunakan perahu sema-sema atau perahu bersayap dengan panjang 8-10 meter, dengan lebar hanya 1,5 meter dan tinggi 1-1,5 meter. Perahu ini dibuat dari kayu dengan mengunakan mesin katinting sebagai pendorong. Perahu ini dilengkapi dengan peralatan pancing, ragguk (pancing satu tali dengan jumlah pancing banyak), pukat, dan tombak. Biasanya mereka berlayar dari pulau satu ke pulau lainnya atau karang satu ke karang lainnya dengan menggunakan waktu selama sehari hingga tiga hari.

Pengembangan kedalam lokus orang Bajo modern yang memiliki pola pemikiran tentang alam sebagai objek, pemikiran ini akan memunculkan adanya prilaku masyarakat yang arogan terhadap alam seperti pembom ikan, penggunaan katinting, dan lain sebagainya. Itulah anak dari sebuah teknologi. Bahkan dalam sebuah situs dinyatakan bahwa tingkat rekayasa orang Bajo terhadap alam sangat mengerikan dalam hal pembuatan bom ikan.

“SETIAP malam nelayan suku Bajo bermandi keringat di depan wajan. Mereka menggoreng pupuk sampai matang, mencampurnya dengan bubuk korek api, lalu memasukkannya ke botol-botol bersumbu. Bom-bom buatan ini siap diledakkan keesokan harinya saat laut tenang. Tak lama setelah bom menggelegar, ikan besar dan kecil akan menggelepar.
Demi memburu tangkapan yang mahal semacam ikan napoleon, ratusan ribu orang Bajo di sejumlah kabupaten di Sulawesi Tengah juga makin ganas. Mereka rela menyelam berjam-jam tanpa mempedulikan keselamatan. Padahal ratusan korban telah jatuh. Ada yang lumpuh karena menyelam, tak sedikit yang tewas akibat bermain bom.”

Suku yang dulu ramah terhadap laut ini seolah terjebak. Bukan cuma gara-gara rayuan para cukong ikan, tapi juga lantaran terimpit daerah tangkapan yang kian menyempit.”[20] Hal itu merupakan dampak pemikiran modernitas yang melihat alam sekedar hanya sebagai objek yang dianggap hanya menjadi bagian pelengkap atau menjadi semacam alat dan perlengkapan hidup manusia. Mereka memandang bahwa lingkungan alam hanya berfungsi untuk kepentingan manusia semata sehingga egoisme manusia muncul sebagai kekuatan yang merusak alam. Hal itu dapat dilihat dari praktek-praktek pemboman yang bukan hanya merusak ekosistem lingkungan, namun terkadang mereka sendiri menjadi korban dari ulah mereka sendiri.

Orang Bajo yang telah memiliki pemikiran mengenai alam sebagai subjek sekaligus objek adalah bajo posmo. Orang Bajo yang telah memiliki pola pemikiran postmodern dimulai sejak hampir semua jenjang pendidikan telah dilakukan yakni sejak tahun 1975. Pada masyarakat Bajo Bongganan Salakan sejak masa pemerintahan Sajida K. (1974/1975) dan Subardi Nyaman (1975-1993) telah memasuki masa pasca modern karena sejak tahun ini orang Bajo yang tamat pendidikan S-1 sebanyak 2 orang, Diploma sebanyak 3 orang, SMA sebanyak 55 orang, SMP sebanyak 71 orang, dan SD sebanyak 70 orang. Sedangkan Bajo Jayabakti memasuki masa pasca modern dimulai sejak pergantian punggawa Mbo Ndalame kepada Kepala Desa pertama Ndali Minggu pada tahun 1965.[21]

Pada masa ini pola pemikiran masyarakat Bajo menganggap bahwa teknologi yang dianggap rahmat, kemudian banyak digugat sebagai perusak alam. Alam dihormati lagi, karena alam dianggap sebagai objek sekaligus subjek. Alam sebagai objek, dibuktikan dengan teknologi perahu Soppek orang Bajo dilengkapi dengan mesin, sedangkan alam sebagai subjek perahu soppek orang Bajo masih menggunakan layar. Nelayan soppek biasa juga disebut nelayan biduk menggunakan perahu yang lebih besar berukuran panjang 8-10 meter, dengan lebar 3-4 meter dan tinggi 2-2,5 meter. Perahu ini dilengkapi dengan bilik-bilik untuk tempat istirahat. Empat orang yang menjalankan dan mengoperasikan perahu soppek yang mengumpulkan hasil laut berupa ikan, teripang, penyu, dan ikan hiu. Perahu ini dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan berupa pancing, pukat, jaring ikan hiu, panah, tombak teripang, tombak penyu yang dilengkapi dengan kaca mata selam. Perjalanan yang dilakukan oleh nelayan soppek hingga nelayan atau pedagangpadewakang dilakukan dari pulau ke pulau sampai berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.

  1. Kesimpulan

Interaksi antara kontur wilayah laut pinggiran di Sulawesi Tengah telah menciptakan perpaduan keragaman masyarakat bahari yang menciptakan peradaban dan kebudayaan sendiri. Empat Pola, yakni pola Selat Makassar menciptakan masyarakat beragam bahari antara masyarakat lokal dengan orang Mandar dan Sulawesi Selatan yang dinamik dengan laut. Sementara pola di bagian Utara interaksi antara orang Tolitoli dan Buol dengan Laut Sulawesi telah menciptakan masyarakat beragam maritim antara orang Mindanao dengan Sojol serta Buol Tolitoli yang juga dinamik. Pada pola sisi Timur, masyarakat Bungku dan Banggai serta sebagian Mori menciptakan interaksi dengan Selat Maluku dan teluk Tolo telah menciptakan campuran budaya antara Ternate dengan Bungku dan Banggai. Akhirnya, pola interaksi sepanjang masyarakat Tojo, Togean, Poso, Parigi hingga Moutong dengan Teluk Tomini menciptakan masyarakat campuran Bahari yang bercirikhas Teluk Tomini. Inilah bentuk masyarakat beragam maritime Indonesia di pinggir-pinggir laut yang berinteraksi dengan Laut, Teluk dan Selat.

Argumentasi yang menjelaskan bahwa orang Bajo yang pasca modern (posmoderni-tas-sme) yang mempunyai pola pemikiran bahwa alam (laut dan darat) sebagai objek sekaligus subjek dan begitu juga sebaliknya. Akibat adanya pemikiran ini, tidak ada lagi pemisah antara orang Bajo dengan darat lebih-lebih laut sehingga tidak heran kalau masyarakat Bajo sekarang dan masa yang akan datang akan merebut pekerjaan-pekerjaan baru sebagai hasil dari perkembangan pendidikan mereka. Salah satu profesi yang akan merubah mereka menjadi masyarakat yang memiliki pemikiran posmodernitas adalah mereka yang mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi dan kembali mengabdi di daerahnya masing-masing sebagai suatu upaya merebut narasi besar di tengah kekucilan mereka seperti yang dikatakan oleh Lyotard sebagai suatu bentuk “kematian narasi besar”.[22]

Perkembangan sejarah mengajarkan tentang peneguhan nilai dan simbol yang hadir sebagai sosio-kultural masyarakat. Masyarakat Bajo yang dipaparkan dalam makalah ini menyajikan nilai-nilai pemikiran tradisional Bajo, nilai-nilai pemikiran modern Bajo, dan nilai-nilai pemikiran Bajo posmodernitas yang hadir dalam simbol-simbol yang kasat mata tersebut berupa teknologi maritim orang Bajo. Sebelum tahun 1965, nilai tradisional Bajo tercermin pada teknologilepalepa atau sampan dengan pikiran bahwa alam (laut dan darat) sebagai subjek. Antara tahun 1965 hingga tahun 1975, nilai modernitas terlihat pada teknologi jarangkah dengan pikiran bahwa alam (laut dan darat) sebgai objek. Pasca tahun 1975, nilai posmodernitas teraktualisasi pada soppek atau biduk dengan pikiran bahwa alam (laut dan darat) sebagai subjek sekaligus objek.

Hal itu, terlihat pada fakta perkembangan pendidikan dan pekerjaan masyarakat Bajo di Bongganan Salakan Kabupaten Banggai Kepulauan dan Jayabakti Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah mengindikasikan bahwa orientasi hidup orang Bajo terutama posmodernitas tidak lagi ada pertentangan dalam batin orang Bajo pada masa tradisional dan modern mengenai pertanyaan mana yang lebih superior, darat atau laut karena disitulah kontradiksi-kontradiksi dan oposisi-oposisi yang tidak ada putus- putusnya terutama pola pemukiman masyarakat Bajo. Bajo Bongganan Salakan telah tinggal bermukim di darat, sedangkan Bajo Jayabakti Pagimana telah ada yang bermukim di darat dan ada yang bermukim di atas laut pinggir pantai. Pemikiran ini harusnya menjadi model of (model dari) dan model for (model untuk) bagi resettlement permukiman orang Bajo di masa depan.

Daftar Pustaka

Asri AR. Madatu Djafi, Pendidikan dan Mobilitas Nasional Masyarakat Bajo di Salakan: Studi Transformasi Sejarah (1940-2005), Skripsi S1 FKIP UNTAD Palu, 2007.

  1. Bosscher dan P.A. Matthijssen. 1854. “Schetsen van de rijken van Tombuku en Banggai, op den oostkust van Celebes”, dalamTijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG),Vol. II.

Daeng Mangesa Datupalinge. “Semangat 50 Tahun Indonesia Merdeka Perlawanan Rakyat Sulawesi Tengah Terhadap Penjajah Belanda”, Pelopor Karya, Minggu I/07 Juli 1995.

Dagregisters en Registers (inhoudsopgave) op dagregisters, Reconstructie van het archief van de VOC-vestiging Ternate 1680, Daghregister, brieven, actens, ordres, instructien en andere voorvallende stucken meergehouden, gesonden
en ontfangen, verleendt gegeven en voorgevallen op der
reijse van d’Ed. heer gouverneur Robbertus Padtbrugge met het schip ‘t Wapen van Middelburgh, van Ternate over Macquan, Zangij, Chiauw, Manado, Bwool, Tontolij, Goronta, Xula, Bahgij etcetera beginnende 21 October 1680 en eijndigt 11 Ogos 1681.

Esther J. Velthoen, “Wanderers, Robbers and Bad Folk : the Politics of Violence, Protection and Trade in Eastern Sulawesi 1750-1850”, dalam: Anthony Reid (ed), The Last Stand of Asia Autonomies: Responses to Modernity in the Diverse States of Southeast Asia and Korea 1750-1900, London: Macmilla, 1997.

Grenzen, “Het Lanchap Boengkoe,” Tijdschrift, voor Indische Taal Land en 
Volkenkunde, uit gegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchapen, 1908.

Haliadi, dkk., Silsillah Kerajaan Sojol sebagai Sumber Sejarah, Palu, Laporan Penelitian Kerjasama Pusat Penelitian Sejarah dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah, 2009.

Hedy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levy-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Kotilainen, Eija-Maija, 1992, When The Bones are Left; A Study of the Material Culture of Central Sulawesi, Helsinki: The Finnish Antropological Society.

Kuntowijoyo, Esai-Esai Budaya dan Politik: Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan, 2002.

Mattulada, Sejarah Kebudayaan To Kaili (Orang Kaili), Palu: Badan Penerbit Universitas Tadulako, tanpa tahun terbit.

Mohammad Sairin, “Melihat Dengan Kacamata Berbeda: Respon Tiga Bangsawan di Sigi Terhadap Kolonial(isasi)”. Makalah disampaikan pada The First Graduate Seminar on Local History of Indonesia 2013, Yogyakarta, 30-31 Mei 2013.

Natsir dan Haliadi, Kepemimpinan Tradisional di Indonesia Mempawah dan Kaili, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2015.

Nazaruddin Latif, Masyarakat Bajo dan Pendidikan Dasar di Desa Djayabakti Kecamatan Pagimana, Skripsi S1 FKIP UNTAD Palu, 2007.

Nourse, Jennifer W., “Conceiving Spirits: Birth Rituals and Contested Identities among Lauje of Indonesia,” (Review by: Carol Laderman)
The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 6, No. 4 (Dec., 2000).

Nur Nanga, Bajo Pasakaiyang Dalam Lintasan Sejarah (Sejarah Singkat) (Dibuat Untuk Kerukunan Keluarga Bajo (Kekar Bajo) Kabupaten Morowali, Sulteng di Kaleroang, 5 Februari 2011).

Radjamuda Datupamusu dan Radjagunu Datupamusu.“Riwayat Hidup Sdr.Datu- pamusu (Tahun 1957)”Manuskriptertanggal 15 Juli 1975.

Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003/4. Wicaksono, “Bertaruh Nyawa demi Napoleon,” TEMPO, 47/XXXI 20 Januari 2003.

Stamboen atau Silsillah Kerajaan Bungku yang dibuat oleh G.L.Reinderhoff disalin kembali oleh Komendangi, Stamboen atau Silsillah Kerajaan Sojol yang dibuat oleh Singalam,  Stamboen atau Salasilah Kerajaan Tawaeli, dan Stamboen atau Salasilah Kerajaan Palu.

Syakir Mahid, dkk., Kerajaan Bungku, Yogyakarta: Ombak, 2012.

Tania Murai Ly dan Jennifer W. Nourse, dalama: Nourse, Jenifer W.,  The Voice of the Winds Versus the Masters of Cure: Contested Notions of Spirit Possession Among the Lauje of Sulawesi
,“ The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 2, No. 3 (Sep., 1996), hlm. 425- 442; Li, Tania Murray, “Relational Histories and the Production of Difference on Sulawesi’s Upland Frontier Author(s)” The Journal of Asian Studies, Vol. 60, No. 1 (Feb., 2001).

V.S. Korona, 2001, Mengenal Masyarakat Lauje di Bandar Tinombo Negeri Khatulistiwa Sulawesi Tengah. Palu: Yayasan Khatulistiwa Nusantara.

[1] Disampaikan pada Dialog Interaktif Kesejarahan Pekan Budaya Indonesia 2017, oleh Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, di Museum Sulteng 23 September 2017, Kota Palu Prov.Sulawesi Tengah.

[2] Esther J. Velthoen, “Wanderers, Robbers and Bad Folk : the Politics of Violence, Protection and Trade in Eastern Sulawesi 1750-1850”, dalam: Anthony Reid (ed), The Last Stand of Asia Autonomies: Responses to Modernity in the Diverse States of Southeast Asia and Korea 1750-1900, London: Macmilla, 1997, dalam: Syakir Mahid, dkk., Kerajaan Bungku, Yogyakarta: Ombak, 2012: 319.

[3] Natsir dan Haliadi, Kepemimpinan Tradisional di Indonesia Mempawah dan Kaili, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2015, hlm. 266.

[4] Radjamuda Datupamusu dan Radjagunu Datupamusu.“Riwayat Hidup Sdr.Datu- pamusu (Tahun 1957)”Manuskrip tertanggal 15 Juli 1975.

[5] Mohammad Sairin, “Melihat Dengan Kacamata Berbeda: Respon Tiga Bangsawan di Sigi Terhadap Kolonial(isasi)”. Makalah disampaikan pada The First Graduate Seminar on Local History of Indonesia 2013, Yogyakarta, 30-31 Mei 2013.

[6] Daeng Mangesa Datupalinge. “Semangat 50 Tahun Indonesia Merdeka Perlawanan Rakyat Sulawesi Tengah Terhadap Penjajah Belanda”, Pelopor Karya, Minggu I/07 Juli 1995 hal 04

[7] Stamboen atau Silsillah Kerajaan Bungku yang dibuat oleh G.L.Reinderhoff disalin kembali oleh Komendangi, Stamboen atau Silsillah Kerajaan Sojol yang dibuat oleh Singalam,  Stamboen atau Salasilah Kerajaan Tawaeli, dan Stamboen atau Salasilah Kerajaan Palu.

[8] Mattulada, Sejarah Tamadun To Kaili (Orang Kaili), Palu: Badan Penerbit Universitas Tadulako, tanpa tahun terbit; Kotilainen, Eija-Maija, 1992, When The Bones are Left; A Study of the Material Culture of Central Sulawesi, Helsinki: The Finnish Antropological Society.

[9] Dagregisters en Registers (inhoudsopgave) op dagregisters, Reconstructie van het archief van de VOC-vestiging Ternate 1680, Daghregister, brieven, actens, ordres, instructien en andere voorvallende stucken meergehouden, gesonden
en ontfangen, verleendt gegeven en voorgevallen op der
reijse van d’Ed. heer gouverneur Robbertus Padtbrugge met het schip ‘t Wapen van Middelburgh, van Ternate over Macquan, Zangij, Chiauw, Manado, Bwool, Tontolij, Goronta, Xula, Bahgij etcetera beginnende 21 October 1680 en eijndigt 11 Ogos 1681, hlm. 13.

[10] Samboom Besar Olongian Sojol, 1941, hlm. 1.

[11] Haliadi, dkk., Silsillah Kerajaan Sojol sebagai Sumber Sejarah, Palu, Laporan Penelitian Kerjasama Pusat Penelitian Sejarah dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah, 2009.

[12] Grenzen, “Het Lanchap Boengkoe,” Tijdschrift, voor Indische Taal Land en 
Volkenkunde, uit gegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchapen, 1908, hlm. 489.

[13] Grenzen, “Het Lanchap Boengkoe,” Tijdschrift, voor Indische Taal Land en 
Volkenkunde, uit gegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchapen, 1908, hlm. 489.

[14] Gelar Arajang Taunae ini merupakan gelar bagi golongan tertinggi dalam masyarakat Mandar.Mereka biasa dikenal sebagai golongan Pua atau Puang.Golongan ini dianggap sebagai keturunan langung dari Topia/ Tomanurung. Selain itu, masyarakat Mandar juga mengenal golongan lain yaitu 1). Golongan Kama atau Maradia, merupakan golongan menengah keturunan Pua atau Puang yang kawin dengan golongan lain. Golongan Kama ini banyak yang memegang jabatan pemerintahan di kerajaan, 2). Golongan Ama yang merupakan golongan rakyat biasa/ orang kebanyakan.

[15] Istilah Olongian juga telah digunakan oleh Tania Murai Ly dan Jennifer W. Nourse, daripada: Nourse, Jenifer W.,  The Voice of the Winds Versus the Masters of Cure: Contested Notions of Spirit Possession Among the Lauje of Sulawesi
,“ The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 2, No. 3 (Sep., 1996), hlm. 425- 442; Li, Tania Murray, “Relational Histories and the Production of Difference on Sulawesi’s Upland Frontier Author(s)” The Journal of Asian Studies, Vol. 60, No. 1 (Feb., 2001), hlm. 41-66; Nourse, Jennifer W., “Conceiving Spirits: Birth Rituals and Contested Identities among Lauje of Indonesia,” (Review by: Carol Laderman)
The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 6, No. 4 (Dec., 2000), hlm. 752-753; V.S. Korona, 2001, Mengenal Masyarakat Lauje di Bandar Tinombo Negeri Khatulistiwa Sulawesi Tengah. Palu: Yayasan Khatulistiwa Nusantara.

[16] Nur Nanga, Bajo Pasakaiyang Dalam Lintasan Sejarah (Sejarah Singkat) (Dibuat Untuk Kerukunan Keluarga Bajo (Kekar Bajo) Kabupaten Morowali, Sulteng di Kaleroang, 5 Februari 2011).

[17] C. Bosscher dan P.A. Matthijssen. 1854. “Schetsen van de rijken van Tombuku en Banggai, op den oostkust van Celebes”, dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG), Vol. II, hlm. 105.

[18] Kuntowijoyo, Esai-Esai Budaya dan Politik: Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan, 2002, hlm. 108-113.

[19] Hedy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levy-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press, 2001, hlm. 25.

[20] Wicaksono, “Bertaruh Nyawa demi Napoleon,” TEMPO, 47/XXXI 20 Januari 2003.

[21] Nazaruddin Latif, Masyarakat Bajo dan Pendidikan Dasar di Desa Djayabakti Kecamatan Pagimana, Skripsi S1 FKIP UNTAD Palu, 2007.

[22] Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003/4, hlm. 215.

sumber : https://haliadisadi.blogspot.com/2018/04/makalah-ke-3-2017.html?spref=fb

By admin_Prodi

 

By admin