Makalah ini kupersebahkan kepada ALMARHUM EDWARD L POELINGGOMANG

Oleh:

Haliadi-Sadi[2]

(haliadisadi@untad.co.id)

  1. PENGANTAR

Memasuki kurun abad ke-18, 19, dan 20 Bugis dan Makassar[3] dan banyak suku di kawasan yang mengitari Pulau Sulawesi mendapat jamahan monopoli dagang kolonial Belanda. Sementara, di pihak lain pendudukam pribumi menggunakan jaringan tradisional untuk mengembangkan Agama Islam sebagai spirit hidupnya. Pada tahun 1667-1799, Pulau Sulawesi berada dalam kekuasaan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang melaksanakan kebijaksanaan monopoli perdagangan di Nusantara.[4] Akibatnya pada periode 1819-1846, mendorong Pemerintah Hindia Belanda membuka wilayahnya bagi pelayaran niaga asing secara menyeluruh dan Makassar menjadi pelabuhan bebas sejak 1 Januari 1847[5] dan koloni VOC beralih ke Pemerintah Hindia Belanda tahun 1799 di Batavia.[6]Kebijakan ini membuat kapal berbendera asing mengalami peningkatan sebanyak 52 kapal Eropa dan 1.578 perahu Bumi Putera. Demikian tingkat perkembangan volume perdagangan (Eksport dan Import) dan Makassar jauh lebih berkembang setelah dijadikan sebagai pelabuhan bebas. Inilah ajaran penting dari almarhum Doktor Edward L. Poelinggomang sebagai penguji skripsiku. Selain perkembangan kapal juga tercipta jalur pelayaran yang digunakan oleh Ulama Islam untuk mengembangkan Agama Islam di Pulau Sulawesi dan sekitarnya.

 

  1. JARINGAN PERDAGANGAN DI SULAWESI

Haliadi dan Sirajudin Latif menyambung pemikiran Poelinggomang, kami menulis satu makalah mengenai perdagangan gelap di Indonesia Timur yang didasari oleh sistem perdagangan tradisional.[1] Jaringan dalam “I Lagaligo,”[2] yang menceritakan pelayaran Sawerigading pergi ke La Taneta hingga ke pantai Koromandel. Hubungan itu menciptakan pertemuan antara empat zona perdagangan seperti: Jaringan Laut Jawa, Teluk Bengal (Koromandel), India Selatan, Sailon, Birma dan pesisir utara serta barat Sumatera, Selat Malaka dan Cina Selatan, Jaringan laut Suluh (Lusin, Cebuh, Mindaro, Mindanao dan pesisir utara Kalimantan).[3] Jalur itu memposisikan Makassar sebagai pusat perdagangan di jaringan Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara yang membutuhkan kayu cendana dan rempah-rempah di Indonesia Timur. Sulawesi Selatan sebagai pusat perniagaan di Indonesia Timur didukung oleh prinsip kebebasan di laut (Mare Liberum) dari Kerajaan Makassar[4] sebagai kemajuan yang pesat dan menga-gumkan dalam Sejarah Indonesia.[5]

Kegemilangan itu mengalami kesuraman dan kemunduran pada masa VOC terutama dalam perang Makassar 1666-1667[6] karena prinsip monopoli dagang hingga abad ke-19. Keadaan dunia niaga Indonesia Timur mengalami kemajuan ketika teh produksi Cina mendapat pasaran di Eropa sehingga Makassar dibuka untuk pedagang Cina yang membutuhkan komoditi laut seperti Teripang, Agar-agar, Karang Sisik dan Sirip Ikan Hiu di Indonesia Timur.[7] Keterbukaan Makassar terhadap perdagangan Cina dan Bumiputra (Bugis, Buton, Makassar, Mandar, Selayar, dan Melayu) yang berhubungan dengan VOC mengundang bangsa Eropa seperti: Inggris yang nantinya sebagai saingan-saingan utama Hindia Belanda yang menggantikan VOC pada awal abad ke-19. Akibat dari persaingan itu Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaan per-dagangan bebas bagi Makassar yang dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 1847 sebagai transito dunia niaga Indonesia Timur menyusul Kaili, Manado, Banda, Ambon Ternate, dan Kema.[8]Mulai pertengahan abad ke-19, Makassar meraih kedudukan sebagai pusat perniagaan pedagang domestik dan internasional. Volume perdagangan Makassar (eksport-import) pada kurun 1847-1873 mencapai 515,69 persen dibanding Singapura yang hanya mencapai 373,95 persen.[9]

Pada periode 1874-1890 ketika pemerintah berusaha meningkatkan keterlibatannya. Perdagangan Makassar lebih menguntungkan Singapura yang dibuktikan pelayaran perdana “Egeron” ke wilayah produksi Indonesia Timur pada tahun 1875. 90 hasil pelayaran perdana itu mendorong pemerintah melaksanakan jalur-jalur pelayaran yang disubsidi 1876, yang menciptakan persaingan angkutan niaga asing dalam import dan eksport Makassar ke Singapura.[10] Perdagangan Inggris dan Cina di Singapura bergiat terus dengan Bandar niaga Makassar melalui jalur yang tidak dilewati oleh pelayar niaga. Gambaran itu berhasil memperbaiki kepincangan niaga Makassar-Jawa hingga tampak jalur pelayaran niaga Indonesia Timur menunjukkan kemajuan. Sedang periode 1891-1906, pelayaran niaga unggul akibat perusahaan niaga menjamin kontak dengan pemerintah kolonial yang menyebabkan kemerosotan perusahaan pelayaran asing, karena semua Bandar niaga dikuasai oleh KPM yang memiliki hak utama melakukan eksport import. Terlepas dari kebijaksanaan perniagaan Hindia Belanda setelah Perjanjian Bungaya 1669, Bone memegang hegemoni politik di Sulawesi, karena Bone juga menjalankan politik perkawinan antara elit politik bangsawan Bugis dengan bangsawan kerajaan lain yang bermuara pada persahabatan antara kerajaan.

Tahun 1877, La Pawandi mengirim puteranya Punggawa Baso Abdul Hamid dari Bone untuk melakukan perdagangan budak secara besar-besaran dan mengirim semua kopi ke Pelabuhan Pare-Pare melalui Rappang dan Sidenreng.[11] Di daerah-daerah Bugis, raja ini melakukan intervensi perdagangan budak dan kopi Toraja yang diekspor ke negeri lain melalui Palopo langsung ke Singapura. Juga pernah membakar kota Sengkang karena Arung Matowa Wajo menghalangi pemasukan garam melalui Sungai Cenrana ke Wajo dan Soppeng sebagai bentuk kontak dagang dengan Cina dan Arab,[12] dan campur tangan beliau terhadap pengangkatan raja-raja: Laiwui, Bungku, Banggai dan Sumbawa.[13]Jaringan perdagangan yang tersambung waktu itu adalah Bone (Pelabuhan Bajoe dan Pallime)-Wajo – Luwu – Buton – Muna –  Sulawesi Tenggara dan ekspor ke Singapura.[14] Perahu-perahu berdaya muat 50-30 ton membawa barang pecah belah, alat rumah tangga dan kain dari Singapura, Jakarta, Tegal, Surabaya dan Makassar kemudian perahunya membongkar muatan pada Bandar lokal seperti; Kajang, Mengarak Bombang (Sinjai), Kajuara, Mare, Balangnipa, Pattiro, Sompa, Bajoe, Pallette, Pallimek dan desa pantai asal perahu.[15] Barang impor ter-sebut di bawah oleh kuda beban ke desa-desa pedalaman bersama ikan kering dan Garam menyeberang melalui Sungai Walanae dan Cendranae di mana saat itu belum ada jembatan, pedati, kereta kuda dan jalanan masih bersipat darurat.

Perdagangan lokal itu ditambah lagi dengan pembuktian L. Van Vuuren menyangkut kegiatan penduduk di Mandar dan Pare-pare pada permulaan abad ke-20 yang masih ada.[16] Seperti pelayaran orang-orang Babatulo (Pamboang, Mandar), mereka masih membawa rotan dan kapak ke Singapura pada bulan Oktober (akhir musim timur laut) dan membeli komoditi keperluan penduduk (Tembikar, Katun Cina, Benang Tenun Putih, Kain Belacu, Kapur Barus, Pisau, Korek api dll), di Pelauhan Majene, mereka menjual 20 persen komoditi yang diperoleh dan kemudian membeli komoditi setempat, seperti: Sarung, Tali Pancing, Tali Jangkar. Pada bulan Januari mereka ke Maluku melalui Pare-Pare – Kepulauan Spermonde (Salemo, Barang Lompo, Kodingareng) – Bantaeng –Balangnipa – Kepulauan Tukang Besi – Ambon dan selanjutnya mereka membeli komoditi daerah yang disinggahi seperti: Kopra, Sisik, Teripang, Kulit Kerang, Tanduk dan Kulit Rusa dll. Setelah itu mereka menjualnya ke Makassar melalui perantara Cina akhirnya mereka membeli keperluan untuk dibawa pulang ke Kampung mereka masing-masing.[17] Titik temu dari dua jalur perdagangan tersebut bertemu di Balangnipa.

Dipihak lain, Hindia Belanda mulai tahun 1891 telah mengoperasikan pelayaran kerajaan yaitu KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschapij) yang dibentuk anggal 4 September 1883.[18] Tujuan pendiriannya dinyatakan untuk “Menunjukkan kekuatan dan ketegasan Belanda di Kepulauan Hindia Belanda perluasan dan penguatan kegiatan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan besar dan kecil Hindia Belanda dengan negara induk (Belanda) dan semua bagian dunia lainnya.”[19] Pembentukan KPM dimaksud untuk mengganti pelayanan kapal api Hindia Belanda (NISM/Neder landch Indische Stooboot Maatschhappij) yang telah habis masa kontraknya. Embrio berdirinya KPM adalah atas kemenangan tawaran yang diajukan oleh Boissevain dan P. S. Tegelbeng (teman sekerjanya) kepada Menteri Koloni dan menghubungi W. Ruys, Direktur Perusahaan Pelayaran Roterdam (Roterdamsche Lliyd/RL) dan (Stoomvaart Maatschappij Nederland) yang memiliki sifat kenasionalan. Pembentukan KPM nampak dimaksudkan untuk menciptakan persaingan terhadap pelayaran niaga asing dan memonopoli perdagangan di Hindia Belanda.

Jalur KPM mengambil alih jalur NISM, tetapi akibat perkembangan maka KPM mengambil jalur pelayaran kapal niaga asing seperti jalur Makassa-Bali dan Lombok-Makassar. Juga jalur dienst No. 13a dan 13b dirubah dengan menempatkan titik berangkat dan balik dari Surabaya sehingga tercipta jalur Surabaya – Nusa Tenggara – Makassar – Nusa Tenggara – Surabaya. Dengan demikian, Makassar tinggal menjadi rendezvous dan Surabaya menjadi transito. Perubahan itulah yang mengundang polemik dari berbagai pihak dari adanya jalur pelayaran perniagaan yang tersembunyi di daerah Sulawesi Selatan, yang cenderung mengakibatkan adanya pajak pelabuhan dan Perang frontal di Sulawesi Selatan.

III. JARINGAN ISLAM LA IBOERAHIMA WARTABONE

Tokoh La Iboerahima Wartabone sebagai seorang putra Mahkota Raja Wartabone merupakan seorang ulama agama Islam di Lembah Palu dan menjadi awal mula marga Wartabone di Lembah Palu Sulawesi Tengah. Beliau selalu juga dipanggil dengan sebutan Madika Bone di Bone Tatura dan Kerajaan (Kebaligauan) Tatanga Palu dan juga dipanggil Talibu atau Teibu di Bone Suwawa Gorontalo. La Iboerahima Wartabone Putra Mahkota Raja Wartabone yang lahir pada paruh akhir abad ke-18 di Bone Suwawa Gorontalo. Membahas tokoh ini berarti kita akan menjelaskan secara mendalam apa yang telah dikembangkan oleh La Iboerahima Wartabone di Pulau Una-Una dan di Bone Tatura Palu Sulawesi Tengah dan tentu saja pengembangan agama Islam. Demikian juga dari marga yang bernama Wartabone tentu tulisan ini akan menjelaskan secara lebih tegas keberadaan marga Wartabone yang berada di Palu Sulawesi Tengah dan bukan yang ada di Gorontalo.[20] Namun, tentu saja sebagai marga (keluarga besar) atau big family berarti memiliki kaitan yang erat secara genealogi dengan marga Wartabone yang ada di Gorontalo.[21] Lebih daripada itu dia lahir dan besar dalam Kawasan Teluk Tomini[22] yang mempengaruhi sosio-politik Gorontalo pada masanya.

Pendekatan agama Islam sebagai sebuah ideologi Islam adalah pendekatan dakwah yang menduniakan Islam dalam diri manusia. Sebelum pengembangan agama Islam secara ideologi biasanya diperkenalkan dulu dengan cara mitologis. Mitos mempunyai sifat irrasional sedangkan mitos juga berguna dan bermanfaat sebagai suatu konsensus. Pemikirannya diarahkan pada pemikiran reseptif artinya menerima segala sesuatu sebagai kodrat. Manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubahnya. Ia harus menerima apa adanya.[23] Setelah Islam ideologi maka agama Islam dilihat sebagai sebuah hal yang rasional dan subyektif. Ideologi memiliki sifat rasional dan subyektif serta berguna untuk sebuah kepentingan. Dalam ideologi mementingkan metodologi yang diarahkan pada hal-hal yang normatif. Ideologi juga mengajarkan cara berpikir yang tertutup. Selepas Islam sebagai ideologi baru masuk kepada pengembangan Islam Ilmu Pengetahuan. Periode ilmu ditandai dengan sifat yang obyektif. Metodologi ilmu pengetahuan mementingkan yang faktual. Dalam ilmu diajarkan tentang cara berpikir yang terbuka.

Menurut pandangan umum bahwa proses pengislaman di Nusantara terjadi karena dua hal yakni penduduk Pribumi yang berhubungan dengan dunia luar kemudian mengenal Agama Islam kemudian menganutnya dan orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina dan Melayu) yang telah menganut agama Islam datang menetap ke wilayah-wilayah di Nusantara dan melakukan kawin campuran sehingga menganut agama Islam yang dibawah oleh orang asing tersebut. Namun yang pasti Agama Islam telah mengantarkan masyarakat lokal menjadi masyarakat modern atau masyarakat yang telah berpikir rasional karena sebelumnya pikiran mereka dipengaruhi oleh pemikiran mistis atau pikiran yang dipengaruhi oleh alam.[24]

Latar belakang La Iboerahima Wartabone lahir di daerah Suwawa Gorontalo hingga mengembangkan Agama Islam di Lembah Palu Sulawesi Tengah. Tulisan ini akan menguraikan perjalanan La Iboerahima Wartabone dari Suwawa Gorontalo-Una-Una-Bugis-Palu. Beliau kemudian dikuburkan di Kampung Potoya Sigi Sulawesi Tengah. Dia seorang ulama Islam bukan sebagai seorang Putra Mahkota Kerajaan Suwawa di Gorontalo karena dia meninggalkan kerajaannya hanya untuk Agama Islam. Dia mengembangkan agama Islam secara ideologis supaya agama Islam tertanam dalam diri manusia penganutnya di Lembah Palu Sulawesi Tengah.

La Iboerahima Wartabone memiliki nama Ibrahim dan tambahan “La” di depan namanya diberikan oleh orang-orang Bugis kepada orang yang ditokohkan atau dituakan. Dia juga sering dijadikan sebagai seorang “Topanritta[25] Bone di Negeri Suwawa pada masanya. La Iboerahima Wartabone adalah Putra Mahkota Raja Wartabone biasa juga dipanggil Teibu atau juga Talibu di Gorontalo memiliki lima orang adik. Beliau adalah anak tertua dari Raja Wartabone yang pernah bertakhta di Kerajaan Suwawa tahun 1830-1849 dan pada masa tahun 1875-1880. Adik dari La Iboerahima terdiri atas perempuan bernama Hadidah anak kedua, anak ketiga bernama Nino, lalu anak keempat bernama Nuku Wartabone seorang laki-laki yang biasa juga disebut Walao Pulu, dan adik kandung kelima bernama Mio seorang Perempuan. Adik kandung keempat La Iboerahima yang bernama Nuku memiliki anak bernama Zakaria Wartabone yang memiliki salah satu orang anak bernama Haji Nani Wartabone yang lahir di Gorontalo pada tanggal 30 April 1907 dan wafat di Gorontalo pada hari Jum’at 3 Januari 1986. Haji Nani Wartabone inilah yang kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional dari Provinsi Gorontalo.[26]Sementara La Iboerahima Wartabone memiliki anak di Lembah Palu bernama Lajonco dari hasil perkawinannya dengan Roneama seorang perempuan dari Watusampu dan menetap di Ujuna Palu. Dari Lajonco inilah sehingga keturunan La Iboerahima Wartabone berkembang di Lembah Palu hingga kini.

Setelah wilayah Gorontalo dikuasai oleh Kolonial Belanda, maka beliau memilih untuk tidak melanjutkan kekuasaan ayahnya, tetapi beliau merantau untuk mengembangkan Agama Islam. Menurut buku “Limo Lo Pohalaa” Sejarah Kerajaan Gorontalo bahwa VOC melakukan aktivitas di wilayah Gorontalo sejak tahun 1667 hingga tahun 1678.  Dari ini dapat kita katakan bahwa VOC dan Hindia Belanda telah lama melakukan aktivitas dagang dan ekspansi teritorial atas Gorontalo. Diantara tahun 1824 hingga tahun 1855 terjadi yang disebut konsolidasi “Limo Lo Pohalaa.”[27] Pada tanggal 14 Juni 1824 oleh Van Der Capellen menetapkan bahwa wilayah Sulawesi Utara termasuk Gorontalo bukan lagi dibawah Ternate sebagaimana masa sebelumnya tetapi dijadikan sebagai daerah kasatuan otonom sendiri berupa keresidenan Manado. Keresidenan Manado mencakup dua wilayah yakni wilayah daerah minahasa dan sekitarnya hingga teluk Palu dan wilayah Gorontalo dan Limo Lo Pohalaa sampai ke Pulau Taliabo. Masing-masing diperintah oleh seorang Asisten Residen yang diperbantukan kepada Residen Manado. Oleh karena kekuasaan Belanda semakin besar di wilayah Gorontalo maka bangsawan seperti La Iboerahima memilih pergi meninggalkan daerahnya untuk mengembangkan agama Islam di Pulau Una-Una.

Kepergian La Iboerahima Wartabone dari Gorontalo untuk mengembangkan agama Islam adalah karena semakin berkuasa Kolonial Belanda di wilayah Gorontalo. Pada masa kekuasaan ayahnya Raja Wartabone yang juga dikenal dengan nama Aruutta Bone atau Raja Arus Bone I telah menolak Kolonial Belanda yang berkeinginan untuk mengolah emas di wilayah Moloti atau Pinogu sekarang ini pada tahun 1800. Kemudian pada masa pemerintahannya ayahnya yang kedua pada tahun 1875-1885 juga telah menolak pelaksanaan kulturstelsel tanaman Kopi di daerah Sinandaha atau juga daerah Pinogu Sekarang ini.[28] Oleh karena Kolonial Belanda selain menganeksasi Kerajaan lokal di Gorontalo juga memiliki agama Kristen sehingga dia memilih untuk pergi meninggalkan kekuasaan ayahnya untuk mengembangkan agama Islam.  Bekal Agama Islam yang diperoleh adalah agama Islam yang datang dari Ternate ke Gorontalo. Pada tahun 1562, Kerajaan Limboto meminta bantuan ke Ternate dalam memerangi Kerajaan Gorontalo. Kerajaan Limboto dipimpin oleh Raja Olongian Tohulialiyo dan mengutus putra dan penggantinya bernama Tilahunga yang menikah dengan saudari Raja ternate bernama Ju Mu’min dan memeluk Islam. Sementara di pihak Gorontalo dipimpin oleh Raja Olongia To Tilayo Amai dan Olongia To Hulijalija Tulijabu. Tulijabu juga menikah dengan kerabat dari Ternate.[29] Dengan demikian pada tahun inilah Agama Islam masuk ke Gorontalo dari Ternate. Islamisasi berlangsung di Gorontalo pada tahun 1589 oleh anggota keluarga Matolodulahu ketika berkuasa di Gorontalo dan telah menggantikan ayahnya Amai menjadi raja di Gorontalo. Walaupun Agama Islam pada tahun 1562 dan tahun 1589 telah diperkenalkan secara resmi di Gorontalo namun masih banyak juga yang menganut agama lama atau masih alfur.[30]

Perantauan awal beliau ke Pulau Una-Una tidak jauh dari Gorontalo untuk membina surau hingga berdirinya masjid tertua di Pulau Una-Una pada tahun 1812. Alasan utama beliau ke Pulau Una-Una adalah karena banyak warga Gorontalo terutama rakyat dari Kerajaan Bone Suwawa yang bekerja di Pulau Una-Una menjadi pemanjat kelapa. Di Pulau Una-Una beliau berkenalan dengan orang-orang yang tinggal di Pulau Una-Una yang kebanyakan berasal dari Kaili Sulawesi Tengah dan juga orang Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan. Pulau Una-Una pada masa ini adalah sebuah pulau yang subur dan memiliki potensi kelapa dan kopra yang sangat banyak. Masjid tua yang bernama Masjid Jami Una-Una adalah masjid yang indah yang bahan-bahannya berasal dari Singapura dan dikabarkan tegelnya dari Perancis.  La Iboerahima Putra Mahkota Raja Wartabone menjadi imam pertama di Pulau Una-Una yakni di sebuah Mushallah yang dirintis pada tahun 1812 sebelum Masjid Jami Una-Una atau Pulau Ringgit dibangun pada tahun 1814. Imam selanjutnya H. Muh. Nur atau Tuan Kodi atau Pua Kali, kemudian oleh Imam La Rasa. Imam Nawawi Laharun adalah imam setelah Pua Kali dan dilanjutkan oleh imam Abdul Wahid Senrima untuk kemudian diteruskan oleh Usman sampai akhirnya dipegang oleh Badrin Bin Taher La Iboerahima di tahun 2015. Masjid tua Una-Una ini dibangun atas inisiatif masyarakat yang disponsori oleh Ibu De Bula seorang kaya di Pulau Una-Una. Masjid ini juga sangat didukung oleh Raja Tua yang bernama Abdurrahman Laudjeng Dg. Materru. Pimpinan Tukang masjid Jami Una-Una bernama Adebullah dan dibangun secara gotong royong oleh masyarakat Una-Una.

Kemudian beliau merantau ke tanah leluhurnya di tanah Bugis yakni di Kerajaan Bugis Bone. Jaringan ini yang menjadi bukti perjalanan kitab ilmu falak yang dikembangkan nantinya di Sulawesi Tengah. Dia ke Ampana semasa kekuasaan Raja Remelino (1816-1836) selaku raja perempuan Kerajaan Tojo waktu itu dan menyeberang ke Bunta lalu ke Kota Luwuk dan Banggai semasa pemerintahan Raja Mumbu Tenebak atau Raja La Ota (1815-1831) untuk kemudian naik kapal ke tanah Bugis melalui Kendari hingga ke daerah Bone. Angkutan yang dilalui adalah angkutan perahu-perahu Bugis yang pada waktu itu mereka telah melakukan aktifitas perdagangan ke wilayah-wilayah pantai sepanjang teluk Tomini termasuk Gorontalo.[31] Kapal-kapal Bugis Makassar pada waktu itu juga telah disewa oleh orang Cina untuk mengangkut barang dagangan yang diperdagangkan pada waktu itu. Beliau menumpangi perahu-perahu yang datang ke Banggai menuju Bone dan Makassar untuk mencari keluarganya sekaligus belajar agama Islam. La Iboerahima di Bone Sulawesi Selatan belajar mengenai agama Islam di Kerajaan Bone semasa Raja La Mappasessu To Appatunru (1812-1823) di Kerajaan Bugis Bone juga sebagai seorang ulama. Setelah merasa cukup belajar agama Islam di Bone kemudian beliau ke Makassar lalu ke Bungku semasa Raja Peapua Dongke Kombe (1841-1947), kemudian melanjutkan perjalanan ke Bunta dan Tojo Una-Una lalu ke Kerajaan Parigi pada masa pemerintahan Raja Magau Baka atau Sawali (1821-1855) untuk kemudian ke Batusuya dan Enu semasa ayahanda Pue La Sadindi atau Mangge Rante yang bernama Yandara[32] di pantai Barat leher Pulau Sulawesi lalu kemudian berakhir di Bone Tatura Palu Sulawesi Tengah. Bone Tatura waktu itu menjadi bagian dari Kerajaan Tatanga dibawah pemerintahan Baligau Lasatumpugi (1821-1846), dan beliau meminta izin sama Baligau untuk mengembangkan Islam di Bone Tatura. Beliau akhirnya mengembangkan Agama Islam di Bone Tatura Lembah Palu Sulawesi Tengah. Pada tahun 1842 masa kedatangan La Iboerahima Wartabone raja di Palu bernama Yolu Lemba (1835-1850), sementara Raja di Tavaeli bernama Yangge Bodu atau Magau Punggu (1812-1900).

Akhirnya, dia menetap di Lembah Palu tepatnya di Kerajaan Bone Tatura sebagai bagian dari Kerajaan Tatanga atau Kebaligauan Tatanga. Beliau mendapatkan gambaran yang baik mengenai Lembah Palu adalah sewaktu beliau menetap di Pulau Una-Una dan bergaul dengan orang Kaili sehingga menuntun dirinya untuk ke tanah Kaili Palu Sulawesi Tengah. Selain itu, dia adalah berdarah Bugis dan karena daerah Bone Tatura adalah pemukiman selain masyarakat kaili juga kebanyakan bermukim orang-orang Bugis Bone yang menjadi warga kebaligauan Tatanga. Kebaligauan Tatanga kalau ditelusuri secara lebih mendalam ternyata dibangun oleh bangsawan Bugis bersama orang-orang Kaili sehingga menjadi sebuah kerajaan di Lembah Palu Sulawesi Tengah.

La Iboerahima Wartabone menikah di Palu dengan seorang gadis bernama Roneama. Roneama adalah seorang gadis baik-baik dari  suku Kaili Palu Sulawesi Tengah. Hasil perkawinannya dengan Roneama melahirkan lima orang anak masing-masing: Lajonco, Jahia, Habasia, Susapalu, dan Sawasia. Kelima orang inilah yang menurunkan keturunan yang bermarga Wartabone di Palu Sulawesi Tengah karena berasal dari La Iboerahima Wartabone seorang putra Mahkota Raja Wartabone di Kerajaan Bone Suwawa Gorontalo. Agama Islam dilihat sebagai sebuah ideologi untuk menyatu dengan diri manusia sekaligus agama Islam dapat bermanfaat kepada hidup dan kehidupan manusia. Pengislaman atau proses Islamisasi dilakukan secara tasawuf misalnya pemahaman atas Allah SWT. dan Rasulullah Muhammad SAW. dihubungkan dengan hidup dan kehidupan manusia. Beliau menyatakan bahwa nafas hidup itulah Allah SWT. dan nur kehidupan dari nafas itulah Muhammad SAW. Untuk kepercayaan ini supaya menjadi ideologi maka pemahaman kepada Allah SWT. dan Muhammad SAW. adalah dinyatakan bahwa hidup zat Allah adalah cahaya hidup yang ditafsir menjadi Allah Taala namanya Tuhan Hidup, zat Tuhan dan hidup adalah Satu. Sementara, Nyawa Nur Allah adalah cahaya nyawa yang ditafsir menjadi Muhammad Nur Allah Taala itu juga nyawa itu pula Muhammad berasal dari hidup. Akhirnya tubuh Nur Muhammad ditafsirkan sebagai Muhammad Nur Muhammad itu juga tubuh itu pula Adam AS. karena asalnya dari Nyawa.[33]

Demikian juga bahwa pelaksanaan ajaran shalat lima waktu dihubungkam dengan tubuh manusia dan bahkan dihubungkan dengan keluarga. Duhur empat rakaat dikaitkan dengan hadapan, belakang, lambung kiri dan lambung kanan. Sementara itu ashar empat rakaat berkaitan dengan tangan kiri, tangan kanan, kaki kiri, dan kaki kanan. Kemudian, tiga rakaat untuk shalat magrib berkaitan dengan lobang hidung kiri, lobang hidung kanan, dan satu mulut. Empat rakaat shalat isya dikaitkan dengan mata kiri, mata kanan, telinga kiri, dan telinga kanan. Terakhir adalah dua rakaat subuh berkaitan dengan nafas atau pikiran dan roh atau ingatan. Lebih jauh lagi, zuhur disimbolkan dengan huruf “alif” pada kepala, ashar disimbolkan dengan huruf  “lam” pada leher, magrib disimbolkan dengan huruf “ha” di dada, isya disimbolkan dengan “mim” pada pusat, dan subuh disimbolkan dengan “dal” pada kaki.[34] Jadi, ajaran shalat dalam Islam adalah hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan Islam secara ideologi pada waktu itu dengan anggapan bahwa sebagai sebuah hal yang rasional dan subyektif. Ideologi memiliki sifat rasional dan subyektif serta berguna untuk sebuah kepentingan tertentu dengan demikian berkaitan dengan hal-hal yang normatif sifatnya.

Selain itu, ada ajaran “kutika” yang dipegang secara turun temurun oleh keluarga dan murid-murid La Iboerahima Wartabone. Naskah ini adalah pemahaman dan sekaligus pegangan terhadap hari baik dan buruk untuk menjalani hidup dan kehidupan di dunia supaya aman dan sejahtera dalam hidup. Ajaran ini mengajarkan bahwa hari-hari sama dengan pemahaman hijriyah dan masehi bahwa hari itu ada tujuh hari yakni jumat, sabtu, ahad, senin, selasa, rabu, dan kamis. Setiap hari dibahagi lima yakni pukul 6 hingga pukul 8, 8-11, 11-12, 12-3, 3-8 dan selebihnya untuk istirahat di rumah. Waktu-waktu ini disimbolkan kedalam empat macam yakni tambah = hidup, orang = mayat/mati, sama dengan = pulang pokok, kosong = kosong dan segi empat titik ditengah=berisi.

Menurut  riwayat  yang  dapat  dipercayai kebenarannya, beliau wafat di Desa Dolo Potoya Kabupaten Sigi pada 7 Desember 1897. Sejak beliau mengembangkan Agama Islam di Lembah Palu Sulawesi Tengah beliau tidak pernah pulang ke Bone Suwawa Gorontalo untuk mengunjungi sanak saudaranya di sana, namun beliau selalu mengunjungi masyarakat Gorontalo di Batu Suya. Beliau mengabdikan dirinya hanya untuk keluarga yang dibangun di Palu Sulawesi Tengah dan Agama Islam yang dikembangkannya. Selama ini tidak pernah diungkap bahwa ada proses Islamisasi yang dikembangkan oleh tokoh La Iboerahima Putra Mahkota Raja Wartabone di Palu Sulawesi Tengah.[35] Tradisi pengembangan Agama Islam dikembangkan oleh anak dari cicit La Iboerahima Wartabone yang lahir dari Lamacca yakni Jarudin sebagai seorang Guru Ngaji dimanapun dia berada. Perjalanan hidup Bapak Jarudin (alm) sungguh menarik karena dalam kesehariannya beliau biasa dipanggil Om Lopu. Om Lopu Guru Ngaji atau Jarudin lahir di Petobo pada tanggal 9 Desember 1925. Nama lengkap Om Lopu Guru Ngaji adalah Jarudin bin Lamaca bin Lajonco bin La Iboerahima bin Raja Wartabone. Pada masa hidupnya, Jarudin dikenal sebagai guru mengaji yang banyak membuka taman pengajian Alquran di berbagai wilayah di sekitar Provinsi Sulawesi Tengah. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila oleh masyarakat lokal, terutama di Kecamatan Kulawi dan di Petobo, Jarudin juga akrab disapa dengan panggilan Om Lopu Guru Mengaji. Jarudin lahir dari ibunya yang bernama Yamalera asal Petobo dan ayahnya yang bernama Lamaca yang lahir tahun 1902 di Dolo Potoya Sigi Sulawesi Tengah.

Cicit La iboerahima Wartabone yang biasa dipanggil Om Lopu Guru Ngaji atau Jarudin lahir di Petobo pada tanggal 9 Desember 1925. Guru mengaji sederhana ini mulanya belajar pada seorang guru yang bernama Mangge Rante atau Pue Lasadindi, kemudian juga berkenalan dan berguru juga dengan Guru Tua atau Sayyed Idrus Salim Al Jufri. Setelah itu, beliau aktif menjadi guru mengaji di berbagai tempat di Sulawesi Tengah dan almarhum Jarudin (Om Lopu Guru Mengaji) memiliki nama lengkap, yaitu: Jarudin Bin Lamaca bin Lajonco, Bin La Iboerahima, bin Raja Wartabone. Sementara dari pihak Ibu, Jarudin (Om Lopu Guru Mengaji) lahir dari Ibu keturunan Kaili yang bernama Yamalera Binti Sumbangudu yang berasal dari Petobo. Yamalera lahir sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara dari Ayah yang bernama Sumbangudu dan Ibu bernama Rangelusu. Saudara kedua Yamalera bernama Sandilera menikah dengan Lamasauna Bin Malonda yang menurunkan Maulidin, Haruna, dan Indolai. Saudara ketiga Yamalera adalah Parase menurunkan Ruweida, Bengge, dan Kadir. Saudara keempat bernama Paradjama yang menurunkan Hadoria, Husen, Badaria, Nadjo, dan Marni. Saudara kelima bernama Marewa menurunkan Harma dan Tante Lia, sementara saudara keenam bernama Dahina yang menurunkan Zakaria, Hate, Hawi, Djafar, Indohako, Muhtar/Tara, Indolawi dan Durman. Sementara saudara bungsu Yamalera bernama Dahira yang menurunkan Maserudi dan Arina, mereka semuanya tinggal di Petobo Palu Sulawesi Tengah. Sementara nenek Yamalera Binti Sumangudu yang bernama Rangelusu memiliki saudara perempuan yang bernama Bongga yang dinikahi oleh Laki-Laki dari Una-Una yang bernama Mahamusa. Perkawinan tersebut melahirkan empat orang anak bernama Lajudin, Kele, Yasia, dan Hawaria. Lajudin menurunkan Tamda di Biromaru, Yasia menurunkan Yasilia, Masrudi, dan Rosi  di Kalukubula. Sementara anak ke-4 Hawaria menikah dengan Soso Ponulele yang menurunkan Sembilan orang anak, yaitu: Abd. Wahid Ponulele, Sulaeha Ponulele, Tian Sari Ponulele, Djindan Ponulele, Hulangi Ponulele, Putiha Ponulele, Ulfia Ponulele, Djatimi Ponulele, dan Ite Ponulele. Mereka inilah keluarga Jarudin (Om Lopu Guru Mengaji) dari mamanya yang bernama Yamalera Binti Sumangudu di Petobo, Biromaru, dan Kaluku Bula di Lembah Palu Sulawesi Tengah. Keturunan La Iboerahima akhirnya berkembang di Sulawesi Tengah. La Iboerahima Putra Mahkota Raja Wartabone sewaktu tinggal di Sulawesi Tengah  menikah di Ujuna Palu Sulawesi Tengah dengan seorang Perempuan Kaili yang bernama Roneama yang berasal dari daerah Watusampu Ulujadi Palu. Pernikahan La Iboerahima ini dikaruniai lima orang anak, yaitu: anak pertama bernama Lajonco lahir 1867 di Ujuna Palu, dan menikah dengan Perempuan Kaili bernama  Renjoine binti Latapande Asal Desa Tulo Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala (sekarang Kabupaten Sigi) Provinsi Sulawesi Tengah. Hasil pernikahan Lajonco dengan Renjoine menurunkan keturunan masing-masing: Incehani, Incepapu, Jahani, Lamacca (Kakek Muhammad J Wartabone), Sapia menikah dengan Lamadjido, Sadasia, Baiduri, Sohoria dan Sitti Saleha.  Anak Kedua La Iboerahima bernama Jahia yang lahir di Ujuna Palu dan menikah dengan Putra Kaili bernama Kontouwa Bin Tamoavi Rapa Lemba asal Dolo Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah yang menurunkan empat orang anak bernama Rahani Lemba, Lahami Lemba, Lahudo Lemba dan Maliha Lemba. Anak Ketiga La Iboerahima adalah bernama Habasia yang lahir di Ujuna Palu yang keturunannya sebagian menetap di Talise Palu Jalan Tombolotutu. Anak Keempat La Iboerahima adalah bernama Susapalu yang lahir ketika saat terjadi runtuhnya Kerajaan Bone Tatura Palu dan menikah dengan Perempuan Kaili asal Tatura Palu bernama Lera yang menurunkan keturunan Perempuan bernama Nari yang menetap di Tatura Palu Jalan Anoa dan menikah dengan Laki-laki berasal dari Besusu Palu bernama Abd. Halim Tembabula dan dikaruniai tujuh orang cucu bernama: Halim, Amir, Taha, Asnani, Udin, Hasnah dan Masli. Adapun Susapalu Bin La Iboerahima Wartabone menikah lagi untuk kedua kalinya di Desa Rarampadende Dolo Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah dengan perempuan Kaili bernama Saridali yang dikaruniai enam orang anak yaitu: Lahasi, Cinaupa, Lagado, Lacare, Simi dan Lapere. Keturunan La Iboerahima yang bernama Susapalu Wartabone menikan di daerah Balaroa Palu. Anak kelima La Iboerahima Putra mahkota Raja Wartabone adalah  Sawasia lahir di Ujuna Palu dan menikah dengan Abdul Wahid Toana (alm) yang dikaruniai satu orang anak  yang bernama Sahabuddin Toana dan menurunkan delapan orang cucu yaitu: Gandi Toana;  Rustam Toana;  Hamsen Toana; Dei Toana; Busran Toana; Maryam Toana; Diaman Toana dan Nikma Toana. Sawasia Mantri Lengkong, menurunkan Dei Callo: Indo Sima menurunkan anak Asniar, Ati, Asman, Azna, Fahrun, dan Alfia. Sawasia Majadatun di Bora Sigi menurunkan Junudin dan Nahawia, kemudian Nahawia menurunkan Asni, Usman, Gasmin, Udin, Idris dan Asnimah.Cucu La Iboerahima Wartabone getol dengan taman pengajian sebagai tradisi yang diturunkan dari kakeknya. Selama dua tahun, Jarudin membina taman pengajian di Kulawi. Taman pengajian ini dibuka pada tanggal 25 Maret 1960 dan bertahan hingga tahun 1962. Pada saat-saat kesibukannya mengajar masyarakat di tempat ini membaca kitab suci Alquran, atas perintah Sayyid ‘Idrus bin Salim Al-Jufri (Guru Tua) Jarudin membuka sekaligus membina madrasah-madrasah Alkhairat di Kulawi bersama sahabatnya, Ustadz Sa’id bin ‘Awadh ‘Abdun. Hanya saja, sejak jatuh sakit di tahun 1962, aktifitas Jarudin tersebut secara otomatis terhenti. Ketika sakit, Jarudin sempat mengalami mati suri selama 12 jam, dimulai dari sekitar pukul 18.00 hingga 05.00 WITA. Setelah bangun dari mati surinya, kepada Ibunya, Yamalera binti Sumbangudu, Jarudin menceritakan bahwa di dalam mati suri tersebut Ia mengalami lima pengalaman yang sarat dengan makna bernuansa hikmah. Pertama, Ia diperlihatkan Shirat al-Mustaqim yang diketahuinya dari keterangan yang diberikan oleh orang yang menemaninya; kedua, Ia menyaksikan bagaimana para pendosa tidak bisa melewati Shirat al-Mustaqim;ketiga, Ia melihat seorang ibu yang tidak bisa melewati Shirat al-Mustaqim, karena si ibu tersebut, di masa hidupnya, pernah melakukan aborsi; keempat, orang yang menemani bertanya kepadanya, “Apa yang kamu ucapkan untuk bisa melewati Shirat al-Mustaqim?”. Jarudin menjawab, “Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Berkat ucapan ini, Jarudin diajak berjalan hingga sanggup melewati Shirat al-Mustaqim; dan kelima, bersama orang yang menemaninya, Jarudin diajak masuk ke dalam sebuah ruangan yang gelap. Ia memegang tembok ruangan yang basah. Ketika Ia menemukan sebuah pintu di dalam ruangan tersebut, orang yang menemaninya melarang Jarudin untuk membukanya. Akan tetapi, dipicu oleh rasa penasaran, Jarudin pun membuka pintu tersebut. Seketika Ia terpental ke belakangan, dan terbangun dari mati surinya. Setelah melewati masa perawatan dan penyembuhan selama enam bulan, Jarudin kembali menjalankan aktifitasnya semula. Pada tahun 1964 hingga tahun 1968, Jarudin membuka dan membina taman pengajian Alquran di Tompi Bugis yang masih berada di wilayah Kecamatan Kulawi. Dari Tompi Bugis, Jarudin pindah ke Desa Salua, yang masih berada di Kecamatan Kulawi, juga untuk mengajarkan baca Alquran kepada masyarakat setempat. Aktifitasnya di tempat-tempat ini dijalaninya sejak tahun 1968 sampai tahun 1975. Dari tahun 1979 hingga tahun 1987, Jarudin pindah ke Desa Sidondo, Kecamatan Sigi Biromaru. Dan, masih sama seperti sebelumnya, di desa ini Ia membuka dan membina taman pengajian. Dari berbagai desa di Kabupaten Sigi, Jarudin kemudian pindah untuk mengajar mengaji di desa-desa yang masuk di dalam wilayah Kabupaten Donggala. Desa pertama yang disinggahinya adalah Desa Sioyong, Pantai Barat. Desa Sioyong, Jarudin membuka taman pengajian dari tahun 1989 hingga tahun 1992. Dari kawasan Pantai Barat, Jarudin menyebrang ke kawasan Pantai Timur, yaitu di Desa Kayu Agung. Pada Desa kayu Agung Ia membina taman pengajian sejak tahun 1992 sampai tahun 1994. Di antara pengabdian yang Ia jalankan di Desa Kayu Agung, pada tahun 1992, Jarudin  atau Om Lopu Guru Mengaji berangkat ke Kota Malang, Jawa Timur, untuk mengantarkan anaknya, Muhammad J. Wartabone, guna memperdalam ilmu agama di Pesantren Daruttauhid Malang Jawa Timur yang diasuh oleh Syekh Abdullah Awad Abdun yang juga merupakan murid Guru Tua atau Sayyid Idrus Bin Salim Aljufri.

Membuka serta membina taman pengajian Alquran di berbagai desa merupakan aktifitas yang mewarnai hampir seluruh kehidupan Jarudin. Bahkan ketika kembali ke daerah tempat kelahirannya di Kelurahan Petobo pada tahun 2004, semangat serta niat yang besar untuk membuka sekaligus membina taman pengajian Alquran masih terlihat dengan jelas. Akan tetapi, karena mempertimbangkan faktor usianya yang sudah tua, anak-anaknya menyarankan agar sang ayah mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, Jarudin kemudian mengajak anaknya, Muhammad J. Wartabone, untuk mendirikan Islamic Center dan Indonesia berdzikir di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, dan di Desa Bora, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah.

  1. KESIMPULAN

Jaringan perdagangan formal yang dibangun oleh Kolonial Belanda di bahagian Timur Pulau Sulawesi sebagaimana yang dijelaskan oleh Doktor Edwar L. Poelinggomang yakni:  Jaringan perdagangan yang tersambung waktu itu adalah Bone (Pelabuhan Bajoe dan Pallime) – Wajo – Luwu – Buton – Muna –  Sulawesi Tenggara dan ekspor ke Singapura. Jaringan ini tersambung oleh perjalanan La Iboerahima Wartabone yakni dari Bone, Muna, Kendari, Bungku, Banggai, Ampana, Una-una hingga ke Gorontalo. Kemudian, dari Una-Una ke Parigi Moutong lalu memotong leher Sulawesi ke Batusuya, Enu, Tavaeli dan berakhir di Ujuna Palu Sulawesi Tengah.

La Iboerahima Wartabone adalah seorang anak pertama Raja Wartabone dari Gorontalo sebagai seorang putra mahkota yang meninggalkan Kerajaan Bone Suwawa karena intervensi dari Kolonial Belanda. Beliau memiliki keluarga di Gorontalo, Pulau-Una-Una dan Togean, dan juga Keluarga di Palu Sulawesi Tengah. Di Gorontalo beliau menikah dengan Nahaya di Bone atau Suwawa dan di Sulawesi Tengah beliau menikah dengan Roneama di Ujuna Palu Sulawesi Tengah. Di Ujuna Sulawesi Tengah, beliau memiliki lima orang anak yakni Lajonco, Jahiya, Habasia, Susapalu, dan Sawasia. Sementara di Gorontalo beliau memiliki tiga orang anak yakni Buna, Tangahu, dan Mitu. Mereka inilah yang menurunkan keluarga La Iboerahima Wartabone sebagai keluarga yang menggunakan marga Wartabone di Gorontalo dan di Sulawesi Tengah.

La Iboerahima Wartabone seorang putra mahkota Raja Wartabone adalah seorang ulama pengemban Agama Islam di Palu Sulawesi Tengah pada pertengahan abad ke-19. Beliau adalah seorang ulama Islam yang mengembangkan agama Islam secara ideologis sehingga ajaran Islam dapat bermanfaat untuk hidup dan kehidupannya di dunia ini. Beliau adalah seorang ulama abad ke-19 yang dilupakan dan memiliki kuburan di pekuburan tua Potoya Buli, Kampung Potoya Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Ajaran Islam yang dikembangkan di Palu Sulawesi Tengah adalah ajaran Islam ideologis karena Agama Islam dikorelasikan dengan hidup dan kehidupan manusia penganutnya sehingga menjadi ideologi yang bersifat normatif.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Mattulada,Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah,Makassar, Bhakti baru Berita Utama, 1982

Abd. Razak Dg. Patunru, SEjarah Gowa, Makassar, Yayasan Kebudayaan Sul-Sel. 1969.

ANRI, Arsip Financien No.738: “Missive van de Kamer van Kophandel. . . . . 1 Februari 1893,”

Anthony Reid, “The Rise of Makassar,” dalam: RIMA, 1983, Vol. 17.

Edward L. Poelinggomang, “Indonesia Timur Dalam Peta Sejarah Perekonomian”, disampaikan pada Seminar Sejarah Regional Indonesia Timur oleh MSI Sulawesi Selatan di Malino 17-18 Juli 1992.

Edward L. Poelinggomang, Proteksi dan Perdagangan Bebas Kajian Tentang Perdagangan Makassar Pada abad Ke-19, Amsterdam: Centrale Huisdrukkerij VU, 1991.

  1. J. Friederichy, Antekeningen Over Adat en Adatrechtbij de Prauwvaarders”, dalamKTthn ke-20, 1931, hlm. 490-504.
  2. J. Friedericy,Novel Sang Jenderal.Pengantar, Taufik Abdullah, Jakarta, Grafiti.

H.A. Suterland, “Power Trade and Islam in the East Eastern Archipelago, 1700-1750,” dalam; Philps Quarles Van Ufford and Mathew Schffeleers, Religion and Development: Towarde an Integrated Appoach, Amsterdam, Free University Press, 1988.

H.A. Sutherland, “Eatern Emporium and Compani Town: Trade and Society in Eigteenth Century Makassar,” dalam: Frank Brose, Brides of The Sea: Port Cities of Asia from the 16th-20th Centuries, Kensington, New South Wales Universiy Press, 1989.

Haliadi dan Sirajuddin Latif, SULAWESI SELATAN: Dalam Jaringan Perdagangan Indonesia Timur 1891-1906, Makalah yang dipresentasekan pada Seminar Nasional Mahasiswa Sejarah IV dan Munas I Forkomasa oleh Mahasiswa Sejarah UNHAS di Universitas Hasanudin Ujungpandang tanggal 27-31 Juli 1993.

Haliadi, “Sejarah Teluk Momini,” disampaikan pada seminar Sehari di Bappeda Kabupaten Parigi Moutong tahun 2014.

Haliadi Sadi dan Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, Yogyakarta: Q Media, 2016.

Haliadi Sadi dan Ismail, Sejarah Perjuangan Pue Lasadindi di Tanah Kaili, Palu: Hoga, 2017.

Harto Juwono dan Yosephine Hutagalung, Limo Lo Pohalaa Sejarah Kerajaan Gorontalo, H. Alex Sato Bya: Penerjemah), Yogyakarta: Ombak, 2005.

Harun Kadir dkk., Sejarah Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta: Depdikbud, 1979.

  1. a Compu, “Steam navigation. . . . .” hlm. 7. Pendirian KPM dapat diketahui pula dalam; M. G. de Boer dan J. C. Westermann, Een Halve Eeuw. . . . ., hlm. 38-39; A. Kok. De Scheepvaar tbescherming. . . . ., hlm. 147-148. J. B. Roderburg, Scheepvaart order Neder landsche Vlag, hlm. 29..
  2. Bastiaans, “Relatie Tusschen Gorontaloen Limboto,”Tijdschrift van Batavia Genootschap (TBG),jilid LXXVVIII, 1938, hlm 323.an Tomini of Gorontalo en Aangrezende Landen,” TNAG, jilid IV, 1880.

JUS. Nadjamuddin, Disekitar Kerajaan Suwawa Serta Terjadinya Pohalaa, Surabaya, 1975.

Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development inithe Early South East Asia, Honolulu, Universuty of Hawai Press, 1985.

  1. Van Vuuren, “De Prauwvaart Van Celebes,” dalamKSthn ke-15, 1917 Vol. 1 hlm. 107-116 dan Vol. 2 hlm. 329-339.

Lahadji Pattang, Sulawesi Dan Pahlawan-Pahlawannya, Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia, 1975.

  1. G. de Roer dan J.C. Westermann, Een Helve Eeuw. . . . . hlm. 39: J. a Compu, “Steam navigation. . . . .” hlm. 7, J.B. Podenburg,Scheenvaart onder Neder landascha Vlao,Amsterdam, J. H. De Bussy, 1902.

Moeing, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri dan Pacce, Makassar: SKU Makassar Press, 1977

Muh. Abduh. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sul-Sel, Jakarta: Depdikbud, 1985.

Muhammad Islam Yusuf, 60 Tokoh Gorontalo Panutan Umat, Suatu Tinjauan Neuro-Sains) (Gorontalo: UNG Press, 2012.

Muklis Paeni, Somba Opu Pusat Kekuasaan Maritim Abad ke-17 di Indonesia Timur, disampaikan pada Temu Ilmiah MSI. Oleh MSI Sul-Sel di Ujungpandang, tanggal 11-12 Desember 1999.

Naskah Manuskrip Ajaran Islam, tanpa pengarang, tempat dan penerbit/stesilan.

  1. O.L. Tobing c.s.Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa,Ujungpandang: Yayasan Kebudayaan Sul-Sel, 1977.

Pieter Oreutabery dan J. T. M. Yan Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, (diantar Abd. Madjid), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987. 

Prayudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Indonesia Dari Segi Sosiologi Sampai Akhir Abad ke-19, Jakarta: Pradnya Paratama, 1985

R.A. Kern, I La Galigo, (Terjemahan La Side dan Sagimun), Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1989.

R.C. Ricklefst, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998.

Reid dan Marr (Ed), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka Indonesia dan Masa Lalunya, Jakarta, Grafiti Pers, 1983

S.C.J.W. van Musschenbroek, “Toelichtingen Behoorende bij de Kaart van de Bocht van Tomini of Gorontalo en Aangrezende Landen,” TNAG jilid IV, 1880.

Silsillah Keluarga Wartabone di Gorontalo dan Sulawesi Tengah (manuskrip).

Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004

 

[1] Haliadi dan Sirajuddin Latif, SULAWESI SELATAN: Dalam Jaringan Perdagangan Indonesia Timur 1891-1906, Makalah yang dipresentasekan pada Seminar Nasional Mahasiswa Sejarah IV dan Munas I Forkomasa oleh Mahasiswa Sejarah UNHAS di Universitas Hasanudin Ujungpandang tanggal 27-31 Juli 1993.

[2] R.A. Kern, I La Galigo, (Terjemahan La Side dan Sagimun) Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1989, hal 200–201.

[3] Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development inithe Early South East Asia, Honolulu, Universuty of Hawai Press, 1985, hlm. 224 – 225; juga; H.A. Suterland, “Power Trade and Islam in the East Eastern Archipelago, 1700-1750,” dalam; Philps Quarles Van Ufford and Mathew Schffeleers, Religion and Development: Towarde an Integrated Appoach,Amsterdam, Free University Press, 1988, hlm. 145-146.

[4] Muklis Paeni, Somba Opu Pusat Kekuasaan Maritim Abad ke-17 di Indonesia Timur, disampaikan pada Temu Ilmiah MSI. Oleh MSI Sul-Sel di Ujungpandang, tanggal 11-12 Desember 1999 hlm. 5.

[5] Anthony Reid, “The Rise of Makassar,” dalam: RIMA, 1983, Vol. 17, hlm. 117; Juga: H.A. Sutherland, “Eatern Emporium and Compani Town: Trade and Society in Eigteenth Century Makassar,” dalam: Frank Brose, Brides of The Sea: Port Cities of Asia from the 16th-20th Centuries, (Kensington, New South Wales Universiy Press, 1989), hlm. 98.

[6] Abd. Razak Dg. Patunru, SEjarah Gowa (Makassar, Yayasan Kebudayaan Sul-Sel. 1969), hlm. 46-47; Juga: Muh. Abduh. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sul-Sel (Jakarta: Depdikbud, 1985), hlm. 24-28.

[7] Edward L. Poelinggomeng, Loc. cit.

[8] PH. O.L. Tobing c.s. Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (Ujungpandang: Yayasan Kebudayaan Sul-Sel, 1977), hlm. 49.

[9] Edward L. Poelinggomang, Loc.cit.

[10] Lihat perbandingan produksi tanaman eksport penting dalam mettrik ton 1874-1890 dalam; Pieter Oreutabery dan J. T. M. yan laanen, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, (diantar Abd. Madjid) (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987) hlm. 146-147. 

[11] Harun Kadir dkk., Sejarah Daerah Sulawesi Selatan (Jakarta: Depdikbud, 1979), hlm. 57.

[12] H. J. Friedericy, Novel Sang Jenderal. Pengantar, Taufik Abdullah, Jakarta, Grafiti, hlm. 155-156.

[13] Lahadji Pattang, Sulawesi Dan Pahlawan-Pahlawannya (Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia, 1975), hlm. 22.

[14] Harun Kadir dkk., Dp. Cit. hlm. 64.

[15] Ibid.

[16] Edward L. Poelinggomang, Loc. Cit., hlm. 112; baca juga: L. Van Vuuren, “De Prauwvaart Van Celebes,” dalam KS thn ke-15, 1917 Vol. 1 hlm. 107-116 dan Vol. 2 hlm. 329-339. Baca juga H. J. Friederichy, Antekeningen Over Adat en Adatrechtbij de Prauwvaarders”, dalam KT thn ke-20, 1931, hlm. 490-504.

[17] ANRI, Arsip Financien No.738: “Missive van de Kamer van Kophandel. . . . . 1 Februari 1893,”

[18] M. G. de Roer dan J.C. Westermann, Een Helve Eeuw. . . . . hlm. 39: J. a Compu, “Steam navigation. . . . .” hlm. 7, J.B. Podenburg, Scheenvaart onder Neder landascha Vlao,Amsterdam, J. H. De Bussy, 1902, hlm. 29.

[19] J. a Compu, “Steam navigation. . . . .” hlm. 7. Pendirian KPM dapat diketahui pula dalam; M. G. de Boer dan J. C. Westermann, Een Halve Eeuw. . . . ., hlm. 38-39; A. Kok. De Scheepvaar tbescherming. . . . ., hlm. 147-148. J. B. Roderburg, Scheepvaart order Neder landsche Vlag, hlm. 29..

[20] Harto Juwono dan Yosephine Hutagalung, Limo Lo Pohalaa Sejarah Kerajaan Gorontalo (H. Alex Sato Bya: Penerjemah) (Yogyakarta: Ombak, 2005).

[21] Silsillah Keluarga Wartabone di Gorontalo dan Sulawesi Tengah (manuskrip).

[22] Haliadi, “Sejarah Teluk Momini,” disampaikan pada seminar Sehari di Bappeda Kabupaten Parigi Moutong tahun 2014.

[23] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), hlm 40.

[24] R.C. Ricklefst, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm 1.

[25] Seorang yang memiliki ilmu pengetahuan atau Ilmuwan dari Bugis.

[26] Muhammad Islam Yusuf, 60 Tokoh Gorontalo Panutan Umat (Suatu Tinjauan Neuro-Sains) (Gorontalo: UNG Press, 2012), hlm. 77-90.

[27] Artinya Lima Saudara yang terdiri atas Kerajaan Gorontalo, Limboto, Bone, Attinggola dan Boalemo.

[28] JUS. Nadjamuddin, Disekitar Kerajaan Suwawa Serta Terjadinya Pohalaa (Surabaya, 1975), hlm 9.

[29] J. Bastiaans, “Relatie Tusschen Gorontaloen Limboto,” Tijdschrift van Batavia Genootschap (TBG), jilid LXXVVIII, 1938, hlm 323.an Tomini of Gorontalo en Aangrezende Landen,” TNAG, jilid IV, 1880, hlm 94.

[30] S.C.J.W. van Musschenbroek, “Toelichtingen Behoorende bij de Kaart van de Bocht van Tomini of Gorontalo en Aangrezende Landen,” TNAG jilid IV, 1880, hlm 94.

[31] L. van Vuuren, “de Prauwvaart van Celebes,” Koloniale Studien, jilid 1, 1917, hlm 107-116.

[32] Haliadi Sadi dan Ismail, Sejarah Perjuangan Pue Lasadindi di Tanah Kaili (Palu: Hoga, 2017), hlm. 65-70.

[33] Naskah manuskrip ajaran Islam, (tanpa pengarang, tempat dan penerbit/stesilan), hlm 2.

[34] Naskah Manuskrip Ajaran Islam (tanpa pengarang, tempat dan penerbit/stesilan), hlm. 9-11.

[35] Haliadi Sadi dan Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu (Yogyakarta: Q Media, 2016), hlm. 171-215.

 

 

[1] Makalah ini dipresentasikan pada Reuni Akhbar Alumni Ilmu Sejarah FIB UNHAS pada tanggal 9-11 Pebruari 2018 di Gedung Mattulada UNHAS, Makassar.

[2] Haliadi, S.S. (UNHAS), M.,Hum. (UGM), Ph.D. (UKM) adalah Dosen Tetap Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Tadulako dan Peneliti Senior di Pusat Penelitian Sejarah LPPM UNTAD, Palu Sulawesi Tengah.

[3] Suku Bugis Makasar merupakan suku bangsa utama yang mendiami Sulawesi Selatan di samping Toraja dan Mandar, dalam: Moeing, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri dan Pacce, (Makassar: SKU Makassar Press, 1977), hlm. 11; Juga A. Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah (Makassar, Bhakti baru Berita Utama, 1982), hlm. 7-11; juga baca: Reid dan Marr (Ed), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka Indonesia dan Masa Lalunya (Jakarta, Grafiti Pers, 1983), hlm. 139-142.

[4] Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), hlm. 94; Juga Prayudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Indonesia Dari Segi Sosiologi Sampai Akhir Abad ke-19 (Jakarta: Pradnya Paratama, 1985), hlm. 58-59.

[5] Edward L. Poelinggomang, Proteksi dan Perdagangan Bebas Kajian Tentang Perdagangan Makassar Pada abad Ke-19 (Amsterdam: Centrale Huisdrukkerij VU, 1991), hlm. 94.

[6] Edward L. Poelinggomang, “Indonesia Timur Dalam Peta Sejarah Perekonomian”, disampaikan pada Seminar Sejarah Regional Indonesia Timur oleh MSI Sulawesi Selatan di Malino 17-18 Juli 1992, hlm. 9.

 

Sumber : http://haliadisadi.blogspot.com/2018/02/makalah-pertama.html

by Admin_Prodi

By admin